Jakarta – Selasa (22/9/2025) – Kajian Penganggaran Ditinjau dari Sisi Ilmu Kriminologi dan Peluang KKN di Tangerang Selatan
Laporan Keuangan Pemerintah Kota Tangerang Selatan (Tangsel) tahun 2024 yang mencapai Rp 5 triliun, telah menjadi sorotan publik setelah dibedah secara kritis oleh Leony Vitria Hartanti.
Temuan-temuan Leony mengungkap berbagai kejanggalan dalam alokasi anggaran yang mengindikasikan potensi kuat terjadinya praktik Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme (KKN).
Kajian ini akan menganalisis temuan tersebut dari perspektif ilmu kriminologi, mengidentifikasi peluang KKN, serta menyoroti dampak sosial dan implikasi sistemik yang mungkin terjadi.
Analisis Anggaran dari Perspektif Kriminologi:
Modus Operandi KKN
Dari sudut pandang kriminologi, pola penganggaran yang diungkap Leony menunjukkan ciri-ciri kejahatan kerah putih (white-collar crime) dan penyalahgunaan kekuasaan yang sistematis. Beberapa modus operandi KKN yang dapat diidentifikasi meliputi:
1. Penggelembungan Anggaran (Mark-up):
Anggaran barang dan jasa sebesar Rp 1,8 triliun, dengan alokasi fantastis untuk alat tulis kantor (ATK) Rp 38 miliar dan kertas serta cover Rp 6 miliar, sangat mencurigakan. Ini merupakan indikasi klasik penggelembungan harga (mark-up) yang bertujuan untuk menciptakan selisih dana yang dapat dialihkan secara ilegal.
2. Penyalahgunaan Dana Perjalanan Dinas dan Suvenir:
Anggaran perjalanan dinas mencapai Rp 117 miliar dan suvenir Rp 20,48 miliar (naik 51,94% dari tahun sebelumnya) menunjukkan pola pengeluaran yang boros dan tidak proporsional. Pos-pos ini sering menjadi celah untuk fiktifisasi perjalanan, pengadaan suvenir dengan harga tidak wajar, atau bahkan pengalihan dana untuk kepentingan pribadi atau kelompok.
3. Pemborosan dalam Rapat dan Konsumsi:
Anggaran makan dan minum rapat sebesar Rp 60 miliar sepanjang 2024 adalah angka yang tidak masuk akal. Ini bisa menjadi indikasi adanya kolusi antara penyedia jasa katering dengan oknum pejabat, atau penggunaan dana untuk rapat-rapat fiktif.
4. Prioritas Anggaran yang Menyimpang:
Perbandingan anggaran perjalanan dinas (Rp 117 miliar) dengan pemeliharaan jalan, jaringan, dan irigasi (hanya Rp 731 juta) menunjukkan prioritas yang sangat timpang. Ini mengindikasikan bahwa kepentingan pribadi atau kelompok lebih diutamakan daripada pelayanan publik esensial.
Dalam kriminologi, ini disebut sebagai kejahatan struktural yang merugikan masyarakat luas.
Manipulasi Anggaran Bantuan Sosial dan Pendidikan:
Alokasi bantuan sosial yang sangat minim (Rp 136 juta untuk 43.330 jiwa miskin, setara satu bungkus mi instan per orang per tahun) dan tidak meratanya honor guru honorer (Rp 500.000 per tiga bulan) menunjukkan adanya ketidakadilan dan potensi penyalahgunaan dana yang seharusnya dialokasikan untuk kesejahteraan rakyat. Ini dapat memicu ketidakpercayaan publik dan memperlebar kesenjangan sosial.
Anggaran Politik yang Tidak Transparan:
Alokasi Rp 51 miliar untuk program peningkatan peran partai politik dan lembaga pendidikan melalui pendidikan politik dan pengembangan etika serta budaya politik perlu dicermati. Pos ini berpotensi menjadi sarana bagi elite politik untuk memperkuat basis kekuasaan mereka melalui dana publik, yang bisa dikategorikan sebagai kolusi politik.
Biaya Perencanaan yang Fantastis:
Anggaran “sekali meeting bajetnya Rp 494 juta” untuk penyusunan dokumen perencanaan peringkat daerah adalah angka yang sangat mencurigakan dan berpotensi besar untuk digelembungkan atau disalahgunakan.
Kolusi dan Lemahnya Pengawasan
Fakta bahwa anggaran dengan berbagai kejanggalan ini telah disetujui oleh DPRD dan di-Acc oleh BPK serta instansi pengawasan terkait, mengindikasikan adanya kolusi antara eksekutif dan legislatif, serta lemahnya fungsi pengawasan. Dalam perspektif kriminologi, hal ini menunjukkan adanya “lingkaran impunitas” di mana para pelaku merasa aman karena sistem pengawasan yang ada tidak berfungsi secara efektif.
Penghargaan pengelolaan keuangan daerah yang diraih Pemkot Tangsel dengan predikat “sangat baik” semakin menguatkan dugaan bahwa ada kesenjangan besar antara laporan formal dan realitas di lapangan, atau bahwa indikator penilaian tidak mampu mendeteksi praktik KKN yang terselubung.
Peluang KKN di Tangsel dan Implikasi Lebih Luas
Berdasarkan temuan Leony, peluang KKN di Tangsel terbuka lebar pada pos-pos anggaran yang bersifat diskresioner, seperti:
-Pengadaan barang dan jasa (ATK, kertas, suvenir).
-Perjalanan dinas.
-Makan dan minum rapat.
-Program-program dengan definisi luwes (misalnya, peningkatan peran partai politik, penyusunan dokumen perencanaan).
-Alokasi bantuan sosial yang tidak transparan.
Implikasi dari praktik KKN semacam ini tidak hanya terbatas pada kerugian finansial negara, tetapi juga merusak kepercayaan publik terhadap pemerintah, menghambat pembangunan yang berkelanjutan, dan menciptakan ketidakadilan sosial.
Pertanyaan yang muncul adalah, apakah pola penganggaran semacam ini hanya terjadi di Tangsel, ataukah ini adalah fenomena gunung es yang terjadi di banyak daerah lain di Indonesia?
Kesimpulan dan Rekomendasi
Temuan Leony Vitria Hartanti adalah alarm keras bagi tata kelola keuangan daerah di Indonesia. Dari perspektif kriminologi, kejanggalan anggaran di Tangsel menunjukkan adanya potensi besar kejahatan kerah putih, penyalahgunaan kekuasaan, dan kolusi yang merugikan rakyat.
Untuk mengatasi permasalahan ini, direkomendasikan:
1. Peningkatan Transparansi dan Akuntabilitas: Seluruh rincian anggaran harus dapat diakses publik dengan mudah dan dalam format yang mudah dipahami.
2. Penguatan Peran Pengawasan: Lembaga audit dan pengawasan internal maupun eksternal harus lebih independen dan proaktif dalam mendeteksi indikasi KKN, tidak hanya berfokus pada kelengkapan administrasi.
3. Partisipasi Publik yang Aktif: Mendorong dan melindungi peran aktif masyarakat sipil, seperti yang dicontohkan Leony, dalam mengawasi penggunaan anggaran daerah. “The Power of Netizen” dapat menjadi pilar keempat demokrasi yang efektif dalam menekan praktik KKN.
4. Penegakan Hukum yang Tegas: Setiap indikasi KKN harus ditindaklanjuti dengan penyelidikan hukum yang transparan dan adil untuk memberikan efek jera.
Kasus Tangsel ini adalah cerminan dari tantangan besar dalam mewujudkan pemerintahan yang bersih dan akuntabel, serta pentingnya kesadaran kolektif untuk menjaga uang rakyat agar benar-benar digunakan untuk kepentingan rakyat.
Penulis adalah Mahasiswa Ilmu Hukum pada Fakuktas Hukum Ilmu Sosial dan Ilmu Politik UPBJJ UT Jakarta. ***
Tim DK – RED.















