Kutim, DerapKalimantan.com – Praktik jual beli bahan bakar minyak (BBM) subsidi secara ilegal kembali mencuat. Tim media yang sedang dalam perjalanan menuju Samarinda mendapati sebuah mobil L300 dengan nomor polisi KT 8236 RU diduga mengangkut BBM subsidi secara ilegal di wilayah Wahau, Kabupaten Kutai Timur (Kutim), Kamis, (13/2).
Mobil tersebut akhirnya berhenti di sebuah lokasi yang diduga menjadi tempat penampungan dan pengecer BBM di Jalan Poros Wahau. Setelah dikonfirmasi, sang sopir yang enggan disebutkan namanya mengakui bahwa BBM jenis Pertalite tersebut berasal dari Kecamatan Kelay, Kabupaten Berau. Ia juga menyebutkan bahwa pemilik BBM berinisial “AD”, yang diduga berdomisili di Kelay.
Upaya konfirmasi kepada “AD” hingga saat ini belum membuahkan hasil. Namun, dari temuan di lapangan, diperkirakan Kabupaten Berau kehilangan pasokan BBM subsidi hingga tonan akibat praktik ini.
Berau Kecolongan, Perlu Pengetatan Pengawasan
Kasus ini menunjukkan lemahnya pengawasan distribusi BBM subsidi di Kabupaten Berau. Seharusnya, pasokan BBM yang diperuntukkan bagi masyarakat setempat tidak boleh keluar dari wilayah distribusi yang telah ditentukan.
Dengan adanya temuan transaksi BBM Pertalitre ilegal ini pemgawasan oleh aparat penegak hukum, khususnya Polsek Kelay dan instansi terkait lebih diperketat lagi, diperlukan langkah tegas untuk menghentikan mafia BBM yang kerap bermain dengan kuota subsidi demi bisnis keuntungan pribadi.
Wilayah Wahau, Kutim, diduga menjadi pusat transaksi BBM subsidi ilegal yang berasal dari berbagai daerah, termasuk Berau. Para pelaku dengan terang-terangan melakukan aktivitas ini tanpa khawatir akan tindakan hukum.
Kejahatan Pelaku BBM, Sanksi Pidana dengan UU Migas No. 22 Tahun 2001
Pasal 55: Setiap orang yang menyalahgunakan pengangkutan dan/atau niaga BBM bersubsidi dapat dipidana penjara hingga 6 tahun dan denda hingga Rp60 miliar.
Tim Media Derap Kalimantan berharap aparat penegak hukum segera bertindak tegas guna menekan peredaran BBM subsidi ilegal. Pengawasan ketat dan penindakan hukum yang serius perlu diterapkan agar praktik ini tidak terus berulang.
Laporan: Fadli dan Tim