Jakarta – Kejaksaan Agung (Kejagung) diam-diam mulai menelusuri dugaan penyimpangan dalam kontrak penjualan solar non-subsidi oleh sejumlah perusahaan besar, termasuk PT Berau Coal. Penjualan dilakukan di bawah harga dasar (bottom price) dan bahkan di bawah harga pokok penjualan.Rabu, (29/10/2025).
Informasi itu terungkap setelah penyidik memeriksa GI, mantan VP Procurement PT Berau Coal periode 2017–2023, pada Senin, 27 Oktober 2025. Pemeriksaan tersebut baru diumumkan oleh Pusat Penerangan Hukum (Puspenkum) sehari kemudian, Selasa, 28 Oktober 2025.
Kapuspenkum Kejagung Anang Supriatna membenarkan pemeriksaan GI. Ia menyebut langkah itu sebagai bagian dari upaya memperkuat pembuktian dalam perkara tata kelola minyak mentah dan produk kilang yang tengah disidik lembaganya.
“Semua dilakukan dalam rangka membuat terang tindak pidana dan menemukan tersangka baru,” kata Anang, Selasa, 28 Oktober 2025.
Keterkaitan dengan Kasus Pertamina
Kasus penjualan solar non-subsidi ini mencuat dari sidang perdana terdakwa Riva Siahaan dan delapan terdakwa lain di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta, 9 Oktober lalu.
Dalam surat dakwaan, jaksa mengungkapkan bahwa praktik penjualan solar di bawah harga dasar tersebut menguntungkan PT Berau Coal dan 12 korporasi lain dengan total keuntungan tidak sah mencapai Rp2,54 triliun.
Penjualan dilakukan oleh pihak-pihak di PT Pertamina (Persero) serta anak usahanya, PT Pertamina Patra Niaga (PPN), pada periode 2018–2023. Pertamina berdalih kebijakan harga murah itu diterapkan untuk menjaga pangsa pasar industri, namun jaksa menilai praktik tersebut melanggar pedoman internal perusahaan dan berpotensi merugikan keuangan negara.
Daftar 13 Korporasi Penerima Keuntungan
Berdasarkan dakwaan, berikut daftar perusahaan yang disebut menerima keuntungan dari selisih harga penjualan solar non-subsidi:
1. PT Pamapersada Nusantara (PAMA) – Grup Astra (PT United Tractors Tbk): Rp958,38 miliar
2. PT Berau Coal – Sinar Mas Group: Rp449,10 miliar
3. PT. Adaro Indonesia – Adaro Group: Rp168,51 miliar
4. PT Ganda Alam Makmur – Titan Group & LX International (Korea): Rp127,99 miliar
5. PT Bukit Makmur Mandiri Utama (BUMA) – Delta Dunia Group: Rp264,14 miliar
6. PT Merah Putih Petroleum – Energi Asia Nusantara: Rp256,23 miliar
7. PT Maritim Barito Perkasa – Adaro Logistics: Rp66,48 miliar
8. PT Indo Tambangraya Megah Tbk (ITM) – Banpu Group (Thailand): Rp85,80 miliar
9. PT Indocement Tunggal Prakarsa Tbk – Heidelberg Materials AG (Jerman): Rp42,51 miliar
10. PT Vale Indonesia Tbk – Vale SA (Brasil): Rp62,14 miliar
11. PT. Nusa Halmahera Minerals (PTNHM) – Indotan & PT Antam Tbk: Rp14,06 miliar
12. PT Purnusa Eka Persada / PT Arara Abadi – Sinar Mas Forestry: Rp32,11 miliar
13. PT Aneka Tambang (Antam) Tbk – MIND ID: Rp16,79 miliar
Pegiat antikorupsi Iqbal D. Hutapea mendesak Kejagung segera menindaklanjuti temuan itu. Menurutnya, angka kerugian dan keuntungan ilegal yang disebut dalam dakwaan sudah cukup menjadi dasar untuk peningkatan status perkara.
“Kasus ini sejalan dengan arahan Presiden agar Kejaksaan menuntaskan perkara korupsi berskala besar,” ujar Iqbal, Rabu, 29 Oktober 2025.
Iqbal menilai, penyelidikan terhadap kontrak solar murah tersebut merupakan bagian dari upaya pemerintah membersihkan praktik penyalahgunaan wewenang dan penyimpangan dalam tata niaga energi.
“Saya yakin ini hanya soal waktu sebelum dinaikkan ke tahap penyidikan,” ujarnya.
Meski belum ada pengumuman resmi peningkatan status perkara, pemeriksaan terhadap sejumlah saksi dari Pertamina, Patra Niaga, dan Kilang International menunjukkan arah pengusutan kasus semakin jelas. Publik kini menunggu langkah tegas Kejagung dalam menindak korporasi yang diduga menikmati keuntungan miliaran rupiah dari praktik penjualan solar di bawah harga pokok.***
Penerbit: Marihot















