Politik uang dalam pemilu tidak hanya mengancam demokrasi, tetapi juga merusak mental dan moral masyarakat. Fenomena ini telah menciptakan realitas pahit di mana integritas pemilih tergadaikan oleh imbalan materi, memaksa masyarakat menerima paradigma yang keliru dalam proses pemilihan.
Adanya politik uang membuat nilai suara masyarakat berubah menjadi komoditas yang diperjualbelikan.
Meninggalkan prinsip meritokrasi dan menempatkan kualitas calon pemimpin di urutan kedua setelah kekuatan finansial.
Demokrasi degan demikian kehilangan maknanya, digantikan oleh praktik-praktik transaksional yang justru mengikis kepercayaan publik terhadap politik serta pemimpin yang dihasilkan.
Yang lebih-lebih dari itu adalah terjadinya pemerintahan yang korup dengan politik uang, dimana pejabat terpilih kerap mengutamakan kepentingan sponsor politiknya.
Akibatnya, keputusan-keputusan yang diambil cenderung berpihak pada pihak-pihak berkepentingan, sementara kesejahteraan rakyat semakin terabaikan.
Dikenal dengan istilah investive corruption, ketika mereka yang berhasil duduk di kursi kekuasaan akan mengutamakan balas budi terhadap para donatur yang telah βberinvestasiβ dalam kampanye mereka, ketimbang fokus pada kepentingan rakyat. (Marihot).