Catatan Rizal Efendi
Kamis, 27 November 2025
Kontroversi penunjukan dua dosen Universitas Hasanuddin (Unhas)—Dr. Syahrir A. Pasinringi, MS, yang akrab disapa “Prof” Cali sebagai Ketua Dewan Pengawas (Dewas) RSUD A. Wahab Sjahranie (AWS) Samarinda, serta Dr. Fridawaty Rivai, SKM, M.Kes sebagai anggota Dewas RSUD dr. Kanujoso Djatiwibowo Balikpapan—belum mereda.
Sorotan semakin menguat karena keduanya tidak hanya menduduki jabatan strategis di Dewas rumah sakit milik Pemprov Kaltim, tetapi juga terlibat dalam proyek pendampingan Puskesmas se-Kaltim senilai Rp4,2 miliar bersama Fakultas Kesehatan Masyarakat (FKM) Unhas.
Dekan FKM Universitas Mulawarman (Unmul), Prof Dr Iwan Muhammad Ramdan, S.Kp, M.Kes, menyayangkan kebijakan penunjukan pihak luar daerah. Menurutnya, meski tidak ada aturan yang mewajibkan Dewas berasal dari SDM lokal, secara etika kebijakan tersebut dinilai kurang tepat.
“Perguruan tinggi lokal seharusnya diberi ruang untuk berkontribusi melalui tridharma. Kita punya SDM yang cukup dan kompeten, bukan hanya di Unmul, tetapi juga di UMKT, UNU, Widya Gama, Poltekkes, sampai ITK,” ujarnya kepada media.
Ia menegaskan bahwa dalam banyak aspek, SDM lokal justru lebih memahami karakteristik sosial, kebiasaan, dan tantangan kesehatan masyarakat Kaltim karena telah lama berkecimpung dalam riset dan pengabdian masyarakat.
Berbeda dengan Prof Iwan, Guru Besar Fakultas Ekonomi dan Bisnis (FEB) Unmul, Prof Dr Rahmawati, SE, MM, menilai penunjukan tenaga ahli dari luar daerah bukanlah persoalan. Dari perspektif hukum administrasi, tidak ada batasan geografis dalam penunjukan anggota Dewas.
“Dalam manajemen dan bisnis, yang utama adalah kompetensi, bukan asal daerah,” tegasnya.
Ia menilai kebijakan ini justru menunjukkan keterbukaan Pemprov Kaltim terhadap kolaborasi keilmuan lintas daerah, sejalan dengan semangat Bhinneka Tunggal Ika dalam pengelolaan lembaga publik.
Menurutnya, pengangkatan tokoh dari luar seharusnya dipandang sebagai momentum transformasi tata kelola rumah sakit menuju standar pelayanan yang lebih adaptif dan berdaya saing nasional.
Namun pendapat Prof Rahmawati memantik reaksi keras, salah satunya dari Sudarno—alumnus FEB Unmul dan pegiat media sosial. Ia menilai sikap tersebut tidak berpihak pada SDM lokal.
“Saya menyesal pernah jadi alumnus FEB. Kok tidak membela orang daerah?” ujarnya.
Sudarno juga menyinggung dugaan adanya kedekatan personal antara para dosen Unhas dan keluarga Gubernur Kaltim Haji Rudy Mas’ud (HARUM). Ia menyebut beberapa nama keluarga Mas’ud yang sedang atau pernah mengikuti program magister manajemen rumah sakit (MARS) di Unhas, termasuk Hijrah Mas’ud—adik gubernur—yang disebutnya sering ikut campur dalam penentuan kebijakan.
Ia menilai kebijakan gubernur tidak pro terhadap pemberdayaan SDM lokal dan berpotensi menimbulkan capital flight karena jabatan strategis ditempati pihak luar daerah.
“Kalau kebijakan gubernur bagus, saya dukung. Tapi kalau melukai hati rakyat, saya yang pertama bersuara,” tegasnya.
Menanggapi sorotan publik, Wakil Gubernur Kaltim Ir. Seno Aji menyatakan bahwa penunjukan dua dosen Unhas tersebut dapat dievaluasi.
“Nanti kita diskusikan dengan Gubernur. Dewas itu fleksibel, jadi masukan dari akademisi dan praktisi tentu akan kami sampaikan,” ujarnya seperti dikutip selasar.co.
Publik kini menanti apakah evaluasi itu benar-benar dilakukan. Banyak pihak menilai, jika tujuan Pemprov adalah transfer keahlian, peran dosen dari luar daerah sebaiknya difokuskan sebagai konsultan atau pendamping teknis—bukan menempati kursi Dewas secara permanen.***
Tim.















