Berau, Kalimantan Timur – Sebuah kasus memilukan mengemuka dari Yayasan Panti Asuhan Hidayatullah Berau yang berlokasi di Jalan Rawa Indah RT 01, Kelurahan Sambaliung, Kecamatan Sambaliung. Sejumlah anak yatim piatu dan fakir miskin yang tinggal di panti tersebut diduga menjadi korban kekerasan fisik dan pelecehan seksual oleh oknum keluarga pengurus yayasan.(5/5).
Kasus ini terungkap setelah sebuah video pendek yang merekam insiden pemukulan terhadap seorang anak panti sebut saja A beredar luas di masyarakat. Dalam video tersebut, tampak seorang Ibu Panti memukul korban, sementara kedua tangan anak tersebut dipegang oleh dua anak panti lainnya. Video itu memicu kemarahan publik dan langsung dilaporkan ke Polsek Sambaliung.
Tak berhenti pada kekerasan fisik, dugaan kasus pelecehan seksual juga mencuat ke permukaan. Berdasarkan pengakuan anak-anak panti yang dicatat dalam sebuah buku harian salah satu penghuni, terungkap nama seorang pria berinisial NTG yang diduga sebagai pelaku pelecehan seksual terhadap beberapa anak perempuan di panti tersebut.
NTG disebut sebagai adik dari Ketua Yayasan Panti Hidayatullah, Adrian. Dalam catatan tersebut, anak-anak panti mengungkapkan bahwa NTG pernah masuk ke kamar asrama putri saat lampu dimatikan. Salah satu korban, sebut saja “Bunga”, mengaku terbangun saat menyadari ada sosok pria di sampingnya. Sementara korban lain, “Mawar”, menyatakan sempat disentuh bagian sensitif tubuhnya oleh NTG saat tertidur.
Pengakuan tersebut membuat orang tua korban marah besar dan mendatangi yayasan. Ibu Panti sempat meminta maaf dalam catatan buku anak panti dan menyatakan bahwa NTG diusir dari panti. Namun, menurut pengakuan anak-anak, NTG sempat kembali beberapa bulan kemudian, menimbulkan kekhawatiran dan ketakutan anak-anak yang tinggal di sana.
Saat dikonfirmasi media, Adrian selaku Ketua Yayasan membenarkan bahwa NTG adalah adiknya yang pernah tinggal di panti sambil mencari pekerjaan saat itu.ungkapnya.
Ia mengklaim bahwa NTG bukan bagian dari pengurus yayasan. Adrian juga mengakui bahwa istrinya sempat mengusir NTG karena dianggap tidak tertib, namun enggan menjawab saat ditanya terkait dugaan pelecehan seksual.
Beberapa saksi menyebut bahwa kekerasan dan pelecehan sebenarnya telah berlangsung beberapa tahun yang lalu. Namun, korban enggan melapor karena takut, berada di bawah tekanan, dan khawatir akan ancaman dari pihak yayasan. Keberanian salah satu korban untuk bersuara akhirnya membuka jalan bagi pengungkapan kasus ini.
Ironisnya, menurut informasi yang diterima redaksi, sejumlah orang tua yang ingin membawa pulang anak mereka dari panti pernah dimintai “uang tebusan” antara tiga hingga sembilan juta rupiah. Praktik ini membuat banyak keluarga merasa terjebak secara ekonomi dan emosional.
Saat ini, salah seorang korban kekerasan telah diamankan oleh warga untuk mendapatkan perlindungan lebih lanjut. Sementara itu, masyarakat mendesak aparat penegak hukum untuk segera menetapkan tersangka dan memberikan sanksi tegas kepada pihak yayasan yang terbukti lalai melindungi anak-anak.
Desakan juga disampaikan kepada Dinas Sosial dan Dinas Pendidikan agar segera melakukan inspeksi mendadak (sidak) ke lokasi yayasan. Apabila terbukti terjadi pelanggaran, warga meminta agar izin operasional yayasan dibekukan untuk sementara demi keselamatan anak-anak.
Orang tua dan wali dari beberapa korban menyatakan rasa terpukul dan berharap Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) serta Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) turun tangan memberikan pendampingan psikologis dan perlindungan hukum kepada anak-anak.
Kasus ini menjadi peringatan keras bagi seluruh lembaga sosial dan pendidikan untuk tidak abai terhadap hak-hak anak. Masyarakat kini menanti ketegasan penegak hukum dalam menyelesaikan kasus ini secara adil dan transparan. (**)
Tim DK-RED.