OPINI
Oleh : Pulo Lasman Simanjuntak
JAKARTA- Sejak tahun lalu, setiap dua hari berturut-turut akhir April menandakan wafatnya dua penyair besar Indonesia: 27 April tahun lalu Joko Pinurbo berpulang, dan 28 April di tahun 1949 Chairil Anwar dalam usia sangat muda, 27 tahun.
Keduanya adalah panutan bukan hanya para sastrawan, tetapi juga sumber inspirasi para seniman lain, seperti juga bagi pianis dan komponis Ananda Sukarlan, tokoh tembang puitik Indonesia yang telah mencipta lebih dari 500 karya genre ini.
Sudah banyak puisi dua tokoh ini yang digubah menjadi tembang puitik oleh komponis yang telah ditulis oleh harian Sydney Morning Herald (Australia) sebagai “one of the world’s leading pianists … at the forefront of championing new piano music” ini.
Seperti juga beberapa puisi saya. Salah satunya, puisi berjudul “Meditasi Batu” yang langsung “disambar” oleh soprano muda dari Malaysia, Zoe Hong Yee Huay, untuk konser menyelesaikan kuliah Master of Music di Royal Conservatoire of Scotland (RCS), Glasgow 20 Maret 2025 lalu.
Didampingi oleh pianis Singapura yang juga mahasiswi RCS, Amanda Lee Yun Yee.
Selain itu Zoe Hong juga menggunakan tembang puitik “Soto Ibu” dari puisi Setiyo Bardono.
Zoe Hong memilih dua puisi ini karena emosi serta ke-Indonesiaan-nya yang kuat.
Penelitiannya memang fokus ke Tembang Puitik dan perkembangannya di Asia di abad 21. Berikut videonya : https://youtu.be/Q5Srl4yHOnA?si=cjZZf80opddJ942y
Berdasarkan perbincangan saya dengan sang komponis Ananda Sukarlan yang telah tampil di berbagai festival dunia seperti Venice Biennale, Holland Festival, BBC Festival dan banyak lagi ini, saya menyimpulkan beberapa hal, yang memang kemudian diiyakan oleh sang komponis sendiri.
Komponis Indonesia Ananda Sukarlan tertarik menggubah puisi menjadi musik, karena ia melihat puisi sebagai ekspresi sastra yang kaya akan emosi, imaji, dan makna mendalam, yang dapat diterjemahkan ke dalam bahasa musik untuk merayakan atau memperingati semua kejadian kehidupan.
Puisi-puisi yang menginspirasinya biasanya memiliki karakteristik berikut:
1. Kedalaman emosi dan makna: Ia tertarik pada puisi dengan metafora yang kuat dan menggugah perasaan, dan memiliki nilai puitika tinggi. Contohnya, puisi Sirikit Syah “Aku Ingin Menjadi Malam” dan Sapardi Djoko Damono “Dalam Sakit” yang sangat menyentuh, menggambarkan pengalaman manusia yang intim dan universal, seperti refleksi malam atau kondisi seseorang yang sedang sekarat. “Dalam Sakit” ditulisnya untuk Yayasan AIDS, dan juga mengingatkannya ke pengalaman pribadi saat teman baiknya di Spanyol wafat karena AIDS. Puisi-puisi ini membangkitkan “bunyi-bunyi” dalam kepalanya yang otomatis terterjemahkan menjadi musik.
2. Struktur puitis yang kuat: Puisi dengan irama, ritme, dan diksi yang kaya memberikan ruang baginya untuk mengeksplorasi musikalitas. Puisi Sapardi Djoko Damono, misalnya “Dalam Doaku”, memiliki kepekaan lirik yang memungkinkan Ananda menciptakan komposisi yang harmonis dan ekspresif.
3. Tema universal dan reflektif: Ananda juga tertarik pada puisi dengan tema universal seperti cinta, perjuangan, kehilangan, atau refleksi sosial. Puisi seperti “Invictus” karya William Ernest Henley, yang mengekspresikan ketabahan dan keberanian, menginspirasinya untuk menciptakan karya yang mendalam dan inspiratif. Puisi Hasan Aspahani seperti “Palestina” dan puisi saya, Pulo Lasman Simanjuntak berjudul “Menulis Syair untuk Presiden – episode 2” juga menggugahnya karena mengangkat penderitaan dan pengorbanan.
4. Fleksibilitas untuk transformasi musikal: Ananda Sukarlan mencari puisi yang memungkinkan “menabrak batas-batas makna” melalui musik, sehingga puisi dapat diakses oleh audiens lintas budaya tanpa kehilangan esensinya. Tembang Puitik memungkinkan transformasi puisi menjadi komposisi musik klasik yang menerjang batasan bahasa, seperti saat bekerja dengan puisi Sapardi atau Joko Pinurbo, yang memungkinkan pendengar asing merasakan keindahan puisi Indonesia melalui elemen musikalnya.
Dalam dekade terakhir, Ananda Sukarlan juga fokus ke budaya dan identitas Indonesia: ia sering memilih puisi karya penyair Indonesia seperti Sapardi Djoko Damono, Chairil Anwar, Goenawan Mohamad, Adimas Immanuel dan W.S. Rendra, yang mencerminkan kekayaan budaya, sejarah, dan perjuangan bangsa. Misalnya, puisi “Karawang-Bekasi” karya Chairil Anwar menginspirasinya karena nilai pengorbanan pahlawan yang terkandung di dalamnya, sementara “Sonet untuk Andy, Pengamen” karya Sapardi mencerminkan kepekaan personal yang mendalam.
Selain itu, Ananda Sukarlan juga terinspirasi oleh puisi penyair Barat seperti Walt Whitman, T.S. Eliot, William Shakespeare, dan Archibald MacLeish, yang menunjukkan kecenderungannya pada karya sastra dengan resonansi emosional dan intelektual yang kuat.
Ia sering kali tidak hanya memusikalisasi puisi secara harfiah, tetapi juga menangkap esensi emosionalnya, seperti saat menggubah puisi Sapardi tanpa menjadikannya syair, karena keindahan puisi sudah tercermin dalam komposisi musiknya.
Dengan pendekatan ini, Ananda tidak hanya menciptakan musik, tetapi juga membangun jembatan antara sastra dan musik, memperkaya pengalaman estetis dan budaya bagi pendengar di Indonesia maupun dunia.
Lantas, bagaimana aktivitasnya dengan genre Tembang Puitik akhir-akhir ini?
“Tahun ini saya sudah bikin dari puisi Fanny Jonathans Poyk yang sangat indah tentang ayahnya, sastrawan terkemuka Gerson Poyk almarhum. Juga puisi Marlin Dinamikanto, Darmawan Sepriyossa, Doddi Ahmad Fauji, Juniarso Ridwan, Isbedy Stiawan ZS, Azizah Zubaer, Yoevita Soekotjo, Lasman Simanjuntak (juga kedua kalinya setelah tahun lalu saya bikin “Menulis Syair untuk Presiden”, episode 2), Setiyo Bardono”, ujar penerima anugerah sipil tertinggi dua negara ini, yaitu gelar ksatria “Cavaliere Ordine della Stella d’Italia” dari Presiden Sergio Mattarella pada tahun 2020 dan Ordo Kerajaan Isabella Katolik (Real Orden de Isabel la Católica) oleh Kerajaan Spanyol tahun 2023 ini.
“Kemudian juga saya sudah bikin “Coto Makassar” dari puisi Shantined, dan beberapa puisi pendek Sihar Ramses Simatupang. Dua tembang baru ini 24 Mei mendatang akan dinyanyikan oleh soprano Fae Bernice Robin bersama tembang puitik saya dari puisi Sofyan RH. Zaid yang sudah sering dipagelarkan, “Rindu Ibu, Rindu Pulang” serta “September Tuarang” dari puisi Rissa Churria. Ini kedua kalinya saya bikin dari puisi mereka, tahun 2023 saya bikin dari puisi Sihar Ramses, “Dari Duka Masa Lalu” dan dari Shantined “Sepenuh Ini, Indonesia”, tuntasnya.
Fae Bernice Robin adalah remaja penyandang gelar Puteri Anak Indonesia Pendidikan 2023 dan juara Kompetisi Piano Nusantara Plus (KPN+ ) region Palembang, serta juara ke-3 KPN+ tingkat Nasional di babak finalnya di Jakarta Desember lalu.
Sedangkan konser tanggal 24 Mei tersebut akan mengambil tempat di Gedung Yamaha Music Center, juga merupakan ajang pengumuman siapa saja peserta yang lolos ke babak Grand Final di Ananda Sukarlan Award 2025, kompetisi yang dianggap sebagai ujian paling tangguh untuk para musikus klasik serta paling bergengsi di Indonesia.
Para musikus remaja lainnya yang tampil di konser itu adalah dua pianis Abigail Zoe Wang dan Callista Kertalesmana, keduanya adalah pemenang Ananda Sukarlan Award edisi lalu.
Pengaruh Ananda memang tak terbantahkan—ia membawa musik klasik Indonesia ke dunia sekaligus mencetak generasi penerus Indonesia yang kompetitif serta kompeten di panggung musik dunia.
Dan ia telah membuktikan bahwa musik klasik tidak berdiri sendiri, melainkan terhubung dengan segala aspek budaya : dunia sastra, sejarah dan budaya tradisional.(***)
**/Penulis Pulo Lasman Simanjuntak, adalah seorang Praktisi Sastra yang karya puisinya telah diterbitkan dalam 7 buku antologi puisi tunggal, dan 50 buku antologi puisi bersama para penyair di seluruh Indonesia.Bekerja sebagai wartawan dan bermukim di Pamulang, Kota Tangerang Selatan.
Kontak : 08561827332 (WA).