Oleh: Redaksi
DerapKalimantan. Com, Senin, 30/6/2026,
Pemilihan kepala daerah (Pilkada) telah usai dan para kepala daerah terpilih kini resmi dilantik untuk menjalankan roda pemerintahan. Namun, euforia kemenangan politik justru menyisakan sorotan tajam dari masyarakat.
Publik mulai menyoroti praktik bagi-bagi proyek yang dilakukan kepada tim sukses (timses) dan Aparat Penegak Hukum (APH)?
Praktik ini dinilai sebagai bentuk politik balas budi yang berpotensi mencederai prinsip tata kelola pemerintahan yang bersih dan profesional.
Kekecewaan mencuat biasa datang dari salah satu anggota timses yang merasa ditinggalkan setelah calon yang mereka dukung berhasil duduk kembali sebagai kepala daerah. Pembagian proyek-proyek strategis di lingkungan pemerintah daerah hanya dibagikan kepada pihak-pihak tertentu yang dianggap dekat atau memiliki pengaruh, termasuk oknum dari APH. Padahal, selama proses kampanye, mereka telah bekerja keras untuk memastikan kemenangan sang kandidat.
Apa yang terjadi mencerminkan fenomena klasik dalam politik lokal: praktik nepotisme dan kolusi yang dikemas dalam bingkai “balas jasa politik”. Fenomena ini tidak hanya menyingkirkan pihak-pihak yang benar-benar kompeten dalam pengelolaan proyek, tetapi juga menciptakan iklim birokrasi yang tidak sehat.
Padahal, Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan secara tegas menekankan pentingnya prinsip akuntabilitas, efisiensi, dan profesionalisme dalam pengambilan keputusan administrasi publik.
Siapa yang dirugikan? Jelas, masyarakat luas. Uang negara yang berasal dari pajak rakyat semestinya dikelola secara optimal untuk pembangunan daerah, bukan menjadi “kompensasi politik” bagi kelompok-kelompok tertentu. Ketika proyek dikelola oleh pihak yang tidak memiliki kapasitas dan pengalaman, maka risiko kegagalan teknis, pemborosan anggaran, dan bahkan potensi tindak pidana korupsi sangat tinggi.
Pertanyaannya, kapan praktik ini akan berhenti?
Selama mekanisme kontrol terhadap pengelolaan anggaran daerah masih lemah dan aparat pengawas internal tidak berfungsi secara independen, maka praktik semacam ini akan terus berulang di setiap periode pemerintahan. Hal ini berlawanan dengan semangat reformasi birokrasi dan good governance yang terus didengungkan oleh pemerintah pusat.
Dimana praktik ini terjadi? Tidak hanya di satu daerah, praktik politik transaksional pasca pilkada telah menjadi rahasia umum di berbagai wilayah di Indonesia. Namun, masyarakat kini mulai berani bersuara, menuntut transparansi, dan mendorong keterlibatan publik dalam pengawasan penggunaan APBD (Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah).
Mengapa praktik ini berbahaya? Selain merusak integritas lembaga pemerintahan, bagi-bagi proyek atas dasar balas jasa politik berpotensi melanggar hukum. Pasal 3 Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi (UU No. 31 Tahun 1999 jo. UU No. 20 Tahun 2001) menyatakan bahwa setiap orang yang dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain secara melawan hukum dapat dihukum karena merugikan keuangan negara.
Publik mendesak kepala daerah untuk menjalankan pemerintahannya secara transparan, profesional, dan berdasarkan prinsip meritokrasi. Tim audit independen, penguatan peran Inspektorat Daerah, dan partisipasi masyarakat dalam pengawasan anggaran adalah langkah nyata yang dapat menekan potensi penyimpangan. Kepala daerah harus sadar, kekuasaan yang diberikan rakyat bukan untuk membalas budi, tetapi untuk mengabdi demi kepentingan seluruh warga.
Partisipasi masyarakat juga harus didorong secara aktif. Media, LSM, akademisi, dan tokoh masyarakat memiliki peran penting untuk menjadi watchdog dalam proses pembangunan daerah.
Tanpa keberanian publik untuk bersuara dan menolak praktik-praktik kotor ini, maka demokrasi lokal hanya akan menjadi panggung sandiwara, sementara kesejahteraan rakyat tetap menjadi janji kosong yang tak kunjung terpenuhi.
“Tidak ada makan siang gratis” bukan lagi sekadar ungkapan, melainkan potret kelam dari realitas politik pasca Pilkada di banyak daerah. Jika kita ingin masa depan pembangunan daerah dijalankan dengan integritas dan profesionalisme, maka politik balas jasa harus dilawan dan dihentikan sekarang juga—sebelum semuanya terlambat.***
Artikel ini, Semoga bermanfaat bagi kita Semua.