BERAU, KALTIM —Aktivitas penebangan kayu secara masif yang diduga dilakukan oleh kontraktor dari salah satu perusahaan Hutan Tanaman Industri (HTI) di Kabupaten Berau, Kalimantan Timur, kini menjadi sorotan.
Temuan investigasi sejumlah media mengungkap adanya indikasi praktik land clearing ilegal di lokasi konsesi perusahaan, tepatnya di kawasan HTI Km 28, Jalan Poros Bulungan.
Di lapangan, terlihat puluhan alat berat dan pekerja sedang melakukan penebangan kayu log dipotong berukuran sekitar empat meter. Kayu-kayu tersebut dikumpulkan dalam berbagai jenis tanpa adanya barcode—tanda identifikasi resmi yang menunjukkan legalitas hasil hutan.
Kondisi ini memunculkan dugaan kuat bahwa kegiatan penebangan dilakukan tanpa memenuhi kewajiban negara, seperti pembayaran Provisi Sumber Daya Hutan (PSDH) dan pelaporan ke sistem SIPUHH (Sistem Informasi Penatausahaan Hasil Hutan).
Salah satu pekerja yang enggan disebutkan namanya menyatakan bahwa kayu-kayu log yang telah ditebang rencananya akan diangkut menggunakan truk roda enam ke lokasi pemesan. Seorang kontraktor di lokasi menyebut bahwa barcode untuk kayu “masih dalam proses pengurusan”, namun pernyataan ini justru memperkuat dugaan bahwa telah terjadi penyimpangan prosedur.
Setelah penebangan, lahan tersebut rencananya akan ditanami pohon Eucalyptus, jenis tanaman yang umum digunakan untuk kebutuhan industri pulp karena kemampuannya beradaptasi dan masa tumbuh yang cepat.
Namun, tanpa adanya legalitas kayu hasil pembersihan lahan, atau disebut limbah seluruh aktivitas ini berpotensi melanggar hukum.
Informasi di lapangan menyebut bahwa kegiatan tersebut merupakan bagian dari implementasi Rencana Kerja Tahunan (RKT) tahun 2025 yang dilakukan Perusahaan yang bergerak di Hutan Tanam Industri untuk wilayah Birang dan Maluang seluas 6.280,58 hektare.
Namun, bila dilakukan tanpa izin sah seperti IPK (Izin Pemanfaatan Kayu) dan tidak dibarengi pelaporan resmi, maka aktivitas tersebut dapat dikategorikan sebagai ilegal logging, yang melanggar undang-undang kehutanan dan dapat dikenai sanksi pidana.
Seharusnya, setiap aktivitas land clearing wajib memenuhi persyaratan ketat, termasuk:
“Kajian dampak lingkungan (AMDAL)
Persetujuan masyarakat setempat
Pengukuran GPS dan pemetaan lahan
Kejelasan status legalitas dan perizinan
Namun, pantauan di lapangan menunjukkan tidak adanya bukti bahwa prosedur-prosedur tersebut telah dijalankan secara sah dan transparan”.
Kegiatan pembukaan lahan yang tidak sesuai prosedur menimbulkan risiko serius terhadap lingkungan. Deforestasi dalam skala besar berpotensi menghilangkan fungsi hidrologis hutan, mempercepat erosi, dan meningkatkan risiko banjir di Kabupaten Berau, khususnya saat musim hujan, apalagi Kabupaten Berau belum lama berlalu banjir, apakah Pemerintah Kabupaten Berau tidak sadar akan hal ini?
Menurut regulasi kehutanan, kayu log hasil land clearing wajib memiliki barcode dan harus dilaporkan ke SIPUHH untuk menjamin legalitasnya.
Tanpa barcode dan tanpa izin resmi seperti PBPH (Perizinan Berusaha Pemanfaatan Hutan) dan IPK, kayu hasil tebangan tidak dapat dianggap legal.
Pertanyaan mendesak: Apakah perusahaan yang beroperasi di kawasan Hutan Tanam Industri Kampung Maluang telah memiliki izin IPK yang sah serta membayar PSDH dan Dana Reboisasi (DR) sesuai ketentuan? Jika tidak, maka negara dirugikan secara finansial dan lingkungan hidup berada dalam ancaman yang nyata.
Land clearing bukan sekadar proses teknis pembukaan lahan. Ia menyangkut aspek legalitas, keberlanjutan lingkungan, dan perlindungan hak masyarakat. Jika terbukti menyalahi aturan, perusahaan yang terlibat harus bertanggung jawab secara hukum dan administratif.
Hingga berita ini diturunkan, pihak perusahaan yang beroperasi di wilayah HTI belum memberikan pernyataan resmi.
Dinas Kehutanan Provinsi Kalimantan Timur serta aparat penegak hukum diharapkan segera melakukan investigasi menyeluruh untuk mencegah kerusakan lebih lanjut dan memastikan kepatuhan terhadap hukum kehutanan yang berlaku.**
Tim REDAKSI