Jakarta, Humas MA, Kamis,18 /9/2025
Sebagaimana kita ketahui, selama ini hukuman mati masih menimbulkan perdebatan yang cukup mendalam tentang penerapannya di Indonesia.
Dalam sebuah sesi wawancara uji kelayakan (fit and proper test) dengan Komisi III DPR RI, seorang calon Hakim Agung ditanya tentang pengalamannya menjatuhkan hukuman mati. Mengapa ia harus menjatuhkan hukuman mati?
Pertanyaan tersebut tentu memerlukan ruang yang cukup untuk menjawabnya secara menyeluruh.
Sebagaimana kita ketahui, selama ini hukuman mati masih menimbulkan perdebatan yang cukup mendalam tentang penerapannya di Indonesia.
Apakah hukuman mati masih relevan dalam konteks sistem hukum kita? Apakah ia benar-benar mencerminkan keadilan, atau justru menjadi kontradiksi moral yang harus dipertanyakan?
Di satu sisi, sistem hukum positif Indonesia mengakui keberadaan hukuman mati sebagai bentuk sanksi bagi pelaku kejahatan berat, seperti terorisme, narkotika, atau pembunuhan berencana.
Namun, dalam praktiknya, hukuman mati seringkali diperdebatkan. Beberapa ahli hukum menyatakan bahwa hukuman mati bertentangan dengan hak asasi manusia. Sementara yang lain berargumen bahwa hukuman mati adalah alat yang diperlukan untuk memberikan efek jera bagi para pelaku kejahatan.
Tidak sedikit pula yang berpendapat bahwa hukuman mati harus dihapuskan. Manusia tidak berhak untuk mencabut nyawa seseorang, karena itu adalah wewenang Tuhan.
Argumentasi yang terakhir ini tentu sering kali dilontarkan oleh mereka yang menentang hukuman mati. Mereka menganggap bahwa menghukum seseorang dengan kematian adalah tindakan yang bertentangan dengan prinsip dasar kemanusiaan.
Dalam pandangan ini manusia tidak memiliki hak untuk menentukan hidup dan mati orang lain. Tetapi, apakah pandangan ini selalu tepat jika diterapkan dalam konteks kejahatan yang sangat berat?
Perbedaan Pandangan tentang Hukuman Mati
Perbedaan pandangan tentang hukuman mati sering kali berasal dari dua sudut pandang yang saling bertolak belakang: sudut pandang moral dan sudut pandang keadilan.
Di satu sisi, banyak yang berpendapat bahwa hukuman mati adalah tindakan yang tidak dapat dibenarkan karena mencabut hak hidup seseorang yang seharusnya dilindungi.
Di sisi lain, ada juga yang berpendapat bahwa hukuman mati justru dibutuhkan untuk menegakkan keadilan, khususnya bagi para korban yang telah kehilangan nyawa mereka secara tragis.
Misalnya pembunuhan dengan mutilasi yang menghilangkan nyawa seseorang dengan cara yang sangat kejam dan biadab. Perbuatan tersebut dipandang tidak hanya melanggar hak hidup korban, tetapi juga menyisakan trauma mendalam bagi keluarga dan masyarakat.
Dalam konteks ini, apakah adil jika pelaku mendapatkan hukuman yang lebih ringan daripada yang layak mereka terima? Bukankah keadilan harus mampu memberikan efek jera agar kejahatan serupa tidak terulang lagi di masa depan?
Namun, keadilan yang diinginkan oleh masyarakat seringkali berbeda-beda. Ada yang menganggap bahwa hukuman mati akan memberikan rasa puas, sementara yang lain berpandangan itu hanya akan memperburuk masalah.
Sebagai contoh, dalam kasus terorisme atau narkoba, para pelaku sering kali dianggap sebagai ancaman bagi keamanan nasional. Penjatuhan hukuman mati dipandang sebagai cara untuk mencegah lebih banyak korban.
Namun ada juga yang berpendapat bahwa hukuman mati tidak efektif dalam mengurangi angka kejahatan, karena para pelaku sering kali tidak merasa takut dengan ancaman tersebut.
Putusan yang dijatuhkan hanya akan memperburuk keadaan dengan melanggengkan siklus kekerasan.
Hukuman mati di Beberapa Negara Maju
Amerika Serikat
Meskipun ada perdebatan besar mengenai efektivitas dan keadilannya, di Amerika Serikat hukuman mati masih diterapkan di beberapa negara bagian.
Negara bagian Texas, Florida, dan Georgia tetap mempertahankan hukuman mati. Sementara beberapa negara bagian lain seperti California dan New York telah melakukan moratorium atau bahkan menghapusnya.
Penerapan hukuman mati sangat bergantung pada sistem hukum masing-masing negara bagian.
Prosedur yang sangat ketat diterapkan untuk menghindari kesalahan eksekusi. Misalnya, hukuman mati hanya bisa dijatuhkan untuk kejahatan berat seperti pembunuhan, yang dijatuhkan setelah melalui tahapan pembuktian yang sangat meyakinkan dan proses banding yang panjang.
Meskipun begitu masih terdapat banyak kasus dimana terdakwa yang dijatuhi hukuman mati kemudian setelah eksekusi dilakukan muncul bukti baru yang dapat menyatakan terdakwa tidak bersalah, antara lain melalui hasil tes DNA.
Selain itu juga terdapat kritik terhadap bias rasial dalam penerapan hukuman mati. Orang kulit hitam sering kali lebih mungkin dihukum mati dibandingkan orang kulit putih untuk kejahatan yang serupa.
Uni Eropa
Semua negara anggota Uni Eropa secara tegas melarang hukuman mati. Hal ini tercantum dalam Pasal 2 Protokol Ketiga Konvensi Eropa tentang Hak Asasi Manusia, yang mengharuskan negara-negara anggota Uni Eropa untuk menghapuskan hukuman mati dalam semua keadaan.
Ini juga merupakan salah satu syarat yang harus dipenuhi bagi negara yang ingin bergabung dengan Uni Eropa.
Prancis
Prancis menghapuskan hukuman mati pada 1981, yang dipimpin oleh Presiden François Mitterrand. Sejak saat itu, hukuman mati di negara tersebut dilarang secara total. Mitterrand menganggap hukuman mati sebagai bentuk pembalasan yang tidak sesuai dengan prinsip kemanusiaan.
Inggris
Inggris menghapuskan hukuman mati untuk semua kejahatan pada 1965 melalui Murder (Abolition of Death Penalty) Act. Keputusan ini didorong oleh pertimbangan bahwa penerapan hukuman mati sering kali salah sasaran, misalnya terhadap individu yang tidak bersalah, yang akhirnya bisa dieksekusi sebelum ditemukan adanya bukti baru.
Penghapusan hukuman mati di Eropa banyak didorong oleh kesadaran akan hak asasi manusia dan ketidakmungkinan untuk memperbaiki kesalahan jika hukuman mati diterapkan secara keliru.
Jepang
Jepang adalah salah satu negara maju yang masih mempertahankan hukuman mati, namun eksekusinya jarang dilakukan.
Hukuman mati di Jepang diterapkan dengan sangat hati-hati. Biasanya hukuman mati hanya diterapkan pada kasus-kasus pembunuhan yang sangat kejam dan menonjol di media.
Proses pengadilannya sangat panjang. Setelah hukuman mati dijatuhkan terdakwa akan menghabiskan banyak waktu dalam penantian untuk eksekusi yang sering kali dilakukan dengan cara yang sangat rahasia, tanpa pemberitahuan sebelumnya kepada terdakwa atau keluarga mereka.
Jepang mempertahankan hukuman mati dengan alasan untuk memberikan rasa keadilan bagi korban dan keluarga mereka serta untuk menegakkan keamanan sosial.
Meskipun demikian, negara ini menghadapi kritik internasional terkait dengan kurangnya transparansi dalam sistem hukumnya dan potensi ketidakadilan yang terjadi.
Menimbang Keberlanjutan dan Efektivitas Hukuman Mati
Pada akhirnya, pertanyaan yang harus dijawab adalah apakah hukuman mati masih efektif dalam menciptakan keadilan dan mengurangi kejahatan?
Seiring berkembangnya zaman, kita seharusnya bisa memikirkan lebih dalam tentang dampak jangka panjang dari hukuman mati. Apakah benar ia menjadi pelajaran yang mendalam bagi masyarakat atau justru mengundang lebih banyak kekerasan dan dendam yang berlarut-larut?
Yang lebih penting lagi apakah hukuman mati masih menjadi pilihan yang bisa dijustifikasi di bawah prinsip-prinsip keadilan yang lebih tinggi?
Bagaimanakah dengan proses yang panjang ini kita bisa mengatasi masalah kejahatan dengan cara yang lebih bijaksana, tanpa harus merenggut nyawa seseorang?
Sebuah Refleksi tentang Fungsi Hukuman
Hukuman mati tampaknya akan tetap menjadi topik yang penuh perdebatan di Indonesia dan dunia. Ada yang mendukungnya dengan alasan keadilan bagi korban dan efek jera.
Sementara yang lain menentangnya atas dasar hak asasi manusia dan moralitas.
Kita tidak dapat mengabaikan fakta bahwa kejahatan berat harus mendapatkan sanksi yang setimpal. Namun kita juga harus berhati-hati dalam menentukan bentuk hukuman yang dapat membawa dampak positif bagi masyarakat secara keseluruhan.
Hukum yang baik di samping bernilai kuratif juga harus bernilai preventif. Aspek nilai preventif ini memberikan landasan mengapa hukuman mati perlu diterapkan.
Penegakan hukum yang tidak semata-mata menghukum pelaku, tetapi juga diharapkan dapat mencegah masyarakat agar tidak melakukan perbuatan serupa di masa mendatang.
Penjatuhan sanksi tidak hanya diperuntukkan bagi pelaku kejahatan, tetapi juga bagi masyarakat agar tidak melakukan kejahatan serupa.
Konsep Diyat Sebagai Jalan Tengah
Dalam suatu kejahatan sedikitnya ada 3 kelompok yang perlu dilihat: pelaku, korban, dan keluarga korban.
Dalam kasus pembunuhan, perdebatan mengenai dirinya sudah selesai dengan kematian korban. Sedangkan bagi pelaku, perdebatannya bisa dua kemungkinan: dihukum mati atau hukuman lainnya berupa penjara seumur hidup atau waktu tertentu. Lantas bagaimana bagi keluarga korban?
Korban pembunuhan bisa jadi mempunyai keluarga yang memerlukan keberlangsungan hidup. Merekalah yang sejatinya akan menanggung duka dan nestapa yang mendalam.
Dalam kasus tertentu, keluarga tersebut sangat bergantung oleh sosok korban. Dengan pembunuhan tersebut, yang menderita sejatinya tidak hanya korban tetapi juga keluarganya. Keluarga korban ini juga memerlukan keadilan.
Dalam hukum Islam dikenal konsep diyat. Konsep diyat ini memungkinkan seorang pelaku mendapat ampunan secara hukum, dengan syarat jika pelaku mau memberikan diyat (dengan membayar sejumlah tebusan) kepada keluarga korban.
Konsep diyat ini dipandang dapat diterapkan sebagai jalan tengah yang sangat adil. Tidak hanya terhadap pro kontra tentang hukuman mati, tetapi juga adil dari sisi hakikat penjatuhan hukuman.
Pada saat yang sama, penerapan konsep diyat pada kasus pembunuhan, secara tidak langsung sejatinya merupakan bentuk penerapan “restorative justice” yang kini mulai dikembangkan di negara kita.
Penulis: H. Asmu’i Syarkowi
Penerbit: Marihot