Humas MA, Jakarta
Selasa,23 Des 2025
Peraturan Pemerintah dimaksud, menegaskan justice collaborator bukan sekadar label yang diberikan secara kasuistis, melainkan status hukum yang ditentukan melalui penilaian terukur atas peran, kontribusi, dan itikad baik saksi pelaku.
Prosedur yang Tertib, Keadilan yang Dipertanyakan
Hukum acara pidana sejak awal dirancang sebagai pagar kekuasaan negara. Melalui Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), negara dibatasi agar tidak bertindak sewenang-wenang dalam menetapkan seseorang sebagai tersangka, terdakwa, hingga terpidana.
Namun, di balik ketertiban prosedur itu, praktik peradilan pidana kerap menyisakan pertanyaan mendasar apakah keadilan selalu lahir dari kepatuhan formal terhadap aturan acara?
Dalam perkara-perkara pidana tertentu, khususnya korupsi dan kejahatan terorganisasi jawabannya sering kali tidak sesederhana itu. Alat bukti formal minim dan jejaring kejahatan bekerja secara sistematis. Di titik inilah hukum acara pidana tidak hanya diuji secara normatif, tetapi juga secara moral.
Hukum Acara Pidana dan Pencarian Kebenaran Materiil
Hukum acara pidana mengajarkan, bahwa pembuktian tidak boleh bersandar pada asumsi, melainkan pada fakta yang terungkap di persidangan.
Masalahnya, dalam kejahatan yang terstruktur, saksi sering berada dalam posisi paling rentan. Ancaman dan tekanan psikologis, hingga kriminalisasi kerap menjadi harga yang harus dibayar oleh mereka yang berani bicara.
Jika hukum acara pidana hanya dipahami sebagai prosedur netral tanpa keberpihakan pada pencarian kebenaran materiil, maka peradilan berpotensi menjadi ruang sunyi bagi keadilan.
Justice Collaborator dan Retakan dalam Kejahatan Terorganisasi
Di tengah kebuntuan pembuktian itulah muncul peran justice collaborator saksi pelaku yang bekerja sama dengan aparat penegak hukum. Ia bukan figur suci, tetapi justru karena keterlibatannya, di mana mengetahui struktur, peran, dan aktor utama dalam kejahatan.
Sistem peradilan pidana tidak hidup di ruang hampa, wujudnya berkembang melalui praktik, kebutuhan, dan kebijakan hukum pidana. Menolak peran justice collaborator secara mutlak sama artinya dengan menutup satu-satunya celah yang bisa meretakkan bangunan kejahatan terorganisasi.
SEMA Nomor 4 Tahun 2011: Arah Kebijakan Mahkamah Agung
Mahkamah Agung melalui Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) Nomor 4 Tahun 2011 tentang Perlakuan bagi Pelapor Tindak Pidana (Whistleblower) dan Saksi Pelaku yang Bekerja Sama (Justice Collaborator) dalam Perkara Tindak Pidana Tertentu, menegaskan bahwa hakim harus menilai secara cermat:
Apakah terdakwa bukan pelaku utama,
Apakah keterangannya signifikan dalam mengungkap pelaku yang lebih besar,
Apakah keterangannya diberikan secara konsisten dan beritikad baik.
PERMA dan Orientasi Substantif Peradilan Pidana
Arah kebijakan Mahkamah Agung dalam SEMA Nomor 4 Tahun 2011 tersebut, diperkuat berbagai Peraturan Mahkamah Agung (PERMA) yang menegaskan pentingnya keadilan substantif.
Salah satu yang relevan adalah PERMA Nomor 1 Tahun 2020 tentang Pedoman Pemidanaan Pasal 2 dan Pasal 3 Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi.
PERMA ini, menegaskan bahwa pemidanaan tidak boleh dilakukan secara mekanis. Hakim wajib mempertimbangkan tingkat kesalahan, peran terdakwa, dampak perbuatan, serta kontribusinya dalam pengungkapan perkara.
Dengan demikian, hukum acara pidana tidak berhenti pada tahapan pembuktian, tetapi berlanjut pada pemidanaan yang proporsional dan berkeadilan. Dalam konteks justice collaborator, PERMA memberikan ruang rasional bagi hakim untuk menjatuhkan pidana yang lebih ringan, tanpa harus merasa melanggar asas kepastian hukum.
PP Nomor 24 Tahun 2025 sebagai Instrumen Operasional Justice Collaborator
Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 2025 tentang Justice Collaborator hadir untuk mengisi kekosongan teknis yang selama ini muncul dalam praktik. Jika sebelumnya konsep justice collaborator bertumpu pada kebijakan yudisial, seperti SEMA Nomor 4 Tahun 2011. Maka Peraturan Pemerintah tersebut, berikan kerangka normatif yang lebih operasional, mulai dari mekanisme penetapan justice collaborator hingga bentuk perlindungan yang diberikan.
Peraturan Pemerintah dimaksud, menegaskan justice collaborator bukan sekadar label yang diberikan secara kasuistis, melainkan status hukum yang ditentukan melalui penilaian terukur atas peran, kontribusi, dan itikad baik saksi pelaku.
Dengan demikian, keberadaan Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 2025 memperkuat kepastian hukum, sekaligus mencegah penyalahgunaan konsep justice collaborator dalam praktik penegakan hukum.
Perlindungan Saksi dan Negara yang Tidak Boleh Absen
Keberanian mengungkap kejahatan tidak boleh dibalas dengan ketakutan. Dalam banyak perkara pidana, khususnya kejahatan terorganisasi, saksi justru berada pada posisi paling rentan. Tekanan, ancaman, dan risiko sosial sering kali menyertai langkah mereka ketika memilih untuk berbicara.
Jika negara membiarkan kondisi ini terjadi, maka proses peradilan pidana akan berjalan pincang sejak awal, karena kebenaran dibangun di atas rasa takut, bukan kejujuran.
Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2014 secara tegas menempatkan negara sebagai pihak yang bertanggung jawab memberikan perlindungan hukum, fisik, dan psikologis kepada saksi, termasuk saksi pelaku yang bekerja sama.
Perlindungan ini, bukan bentuk keistimewaan, melainkan prasyarat agar saksi dapat memberikan keterangan secara bebas, jujur, dan tanpa tekanan dalam proses peradilan.
Tanpa perlindungan yang nyata dan efektif, hukum acara pidana kehilangan daya dorongnya sebagai instrumen pencarian kebenaran. Negara tidak berhak menuntut keberanian warganya untuk mengungkap kejahatan, jika saat yang sama gagal menjamin keselamatan mereka.
Dalam kondisi demikian, keadilan bukan hanya terancam, tetapi berpotensi dikalahkan oleh ketakutan yang dibiarkan tumbuh dalam sistem peradilan itu sendiri.
Menjembatani Prosedur dan Keadilan
Hukum acara pidana tidak boleh terjebak sebagai ritual formal yang dingin. Bentuknya harus menjadi instrumen yang hidup, adaptif, dan berani membaca kompleksitas kejahatan modern.
Kehadiran SEMA Nomor 4 Tahun 2011 dan PERMA Nomor 1 Tahun 2020 menunjukkan bahwa Mahkamah Agung berupaya menjembatani jarak antara prosedur dan keadilan.
Pada akhirnya, peradilan pidana bukan sekadar tentang siapa yang dijatuhi pidana, melainkan tentang bagaimana kebenaran ditemukan dan keadilan ditegakkan. Ketika prosedur mulai mengaburkan kebenaran, di situlah hukum harus berani melakukan koreksi. Demikian juga, di ruang sidang itulah, hukum acara pidana menemukan makna terdalamnya.
Referensi
SEMA 4 Tahun 2011 Tentang Perlakuan Bagi Pelapor Tindak Pidana (Whistleblower) dan Saksi Pelaku yang Bekerjasama (Justice Collaborators) di Dalam Perkara Tindak Pidana Tertentu
PERMA Nomor 1 tahun 2020 Tentang Pedoman Pemidanaan Pasal 2 dan Pasal 3 Undang – Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi
Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 2025 Penanganan Secara Khusus dan Pemberian Penghargaan Bagi Saksi Pelaku
River Yohanes Manalu. (2015). Justice Collaborator Dalam Tindak Pidana Korupsi, Lex Crimen Vol. IV/No. 1/Jan-Mar/2015
Dwi Ktafia Ariyanti dan Nita Ariyani. (2020) Model Pelindungan Hukum Terhadap Justice Collaborator Tindak Pidana Korupsi Di Indonesia, DOI: 10.20885/iustum.vol27.iss2.art6.
Ardiva Naufaliz Azzahra. (2022) Perlindungan Hukum Bagi Justice Collaborator Dalam Tindak Pidana Korupsi Menurut Uu Perlindungan Saksi Dan Korban, Jurnal Verstek Vol. 10 No. 1
Puteri Hikmawati. (2013) Upaya Perlindungan Whistleblower Dan Justice Collaborator Dalam Tindak Pidana Korupsi, Negara Hukum: Vol. 4, No. 1.
Penulis: Derry Yusuf Hendriana














