Kabupaten Berau, Kaltim — Desakan pengusutan dugaan korupsi menyeruak dari masyarakat Teluk Bayur terkait proyek pembangunan Danau Teluk Bayur, Kabupaten Berau, Kalimantan Timur, yang mangkrak dan tak kunjung diselesaikan kendati pemerintah telah menggelontorkan anggaran sebesar Rp 6,7 miliar dari APBD Perubahan 2023.
Proyek yang dibiayai dari Dana Bagi Hasil (DBH) Sumber Daya Alam Kehutanan – Dana Reboisasi (DR) ini sejak awal digadang-gadang menjadi ruang publik baru: tempat warga berolahraga, bersantai, dan berkumpul pada sore hari. Namun hingga November 2025, fasilitas yang dijanjikan itu belum juga dapat dinikmati masyarakat.
AKPERSI Kaltim Soroti Proyek Mangkrak
Pantauan organisasi pers AKPERSI Kaltim di lokasi proyek, pada Kamis, 20 November 2025, menunjukkan sejumlah pekerjaan fisik masih berantakan. Penyusunan batu alam atau batu bronjong tidak disambung kemudian paving belum banyak terpasang rapi, taman hijau tak terbentuk, bronjong penahan tanah belum selesai hingga kini batu bronjongnya terancam roboh, sementara sebagian tepi danau tampak longsor. Kondisi itu membuat kawasan danau terlihat kumuh dan tidak layak jadi Tempat tongkrongan warga.
“Bagi kami tidak ada manfaatnya sama sekali. Hanya menghabiskan anggaran. Kalau benar untuk warga, seharusnya bisa digunakan olahraga atau kumpul keluarga. Ini malah tidak layak,” ujar salah satu warga Teluk Bayur.
Seorang pemerhati pembangunan Berau yang meminta identitasnya dirahasiakan menyebut proyek ini sejak awal bermasalah karena “salah desain, salah konsep, dan sarat kepentingan”.
AKPERSI Minta KPK Turun Tangan
Melihat kondisi itu, AKPERSI Kaltim menyatakan akan melayangkan pengaduan resmi kepada Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Mereka menilai adanya dugaan tindak pidana korupsi karena proyek yang didanai negara itu tidak diselesaikan dan berpotensi menimbulkan kerugian keuangan negara.
“Kami meminta KPK mengusut dugaan korupsi dalam proyek ini serta memeriksa siapapun pejabat dan kontraktor yang terlibat,” tegas perwakilan AKPERSI.
Hingga berita ini diturunkan, Pemerintah Kabupaten Berau, melalui DPUR Berau, maupun kontraktor pelaksana, belum memberikan keterangan resmi terkait siapa yang bertanggung jawab atas keterlambatan atau mangkraknya proyek tersebut.
Warga Teluk Bayur mendesak pemerintah daerah segera mengambil tindakan tegas. Mereka meminta proyek tersebut dievaluasi bahkan, bila perlu, kontraktor di Blacklist, warga menyebut ada sosok kontraktor berinisial Z banyak pekerjaan proyeknya bermasalah namun tidak tersentuh hukum, diduga Ia dibackup APH?
“Jangan dibiarkan seperti ini. Sayang uang rakyat kalau proyek cuma jadi monumen pemborosan,” ujar salah satu warga.
Apabila ditemukan unsur korupsi berupa penyalahgunaan anggaran, mark up, atau pengabaian kewajiban kontraktual yang merugikan negara, para pihak yang terlibat dapat dijerat pasal-pasal dalam UU Tipikor, antara lain:
Pasal 2 Ayat (1) UU Nomor 31 Tahun 1999 jo. UU 20/2001
Ancaman: penjara 4–20 tahun dan denda Rp 200 juta–Rp 1 miliar.
Pasal 3 UU Tipikor
Ancaman: penjara 1–20 tahun dan denda Rp 50 juta–Rp 1 miliar.
Jika melibatkan pejabat penyelenggara negara, dapat diperberat dengan pasal mengenai penyalahgunaan wewenang.
Proses pengusutan KPK nantinya diharapkan dapat mengungkap apakah proyek gagal ini disebabkan kelalaian teknis, kesalahan manajemen, atau memang terdapat unsur tindak pidana korupsi yang merugikan negara.
Masyarakat Berau kini menunggu transparansi pemerintah dan langkah tegas penegak hukum agar proyek ini tidak menjadi contoh buruk pengelolaan anggaran daerah.***
Tim AKPERSI Kaltim.
Editor: Marihot















