JAKARTA – Pakar hukum narkotika Prof. Dr. Anang Iskandar, S.H., M.H., menyampaikan kritik keras terhadap sistem penanggulangan narkotika di Indonesia yang dinilainya keliru dan tidak efektif. Dalam unggahan Instagram pribadinya pada Sabtu (22/6/2025), mantan Kepala Badan Narkotika Nasional (BNN) dan mantan Kabareskrim Polri ini menilai bahwa Indonesia mengalami mismanajemen dalam penanganan narkotika karena kekeliruan dalam penyusunan regulasi dan minimnya pakar hukum narkotika.
Anang menyoroti fakta bahwa Undang-Undang Narkotika yang berlaku saat ini disusun oleh para ahli hukum pidana, bukan oleh ahli hukum narkotika. Hal ini menyebabkan UU tersebut lebih menyerupai undang-undang pemidanaan ketimbang undang-undang yang bersifat preventif dan rehabilitatif.
“UU Narkotika yang ada saat ini dibentuk atas usulan penegak hukum pidana dan disahkan oleh DPR dan Pemerintah, yang sebagian besar berisi para ahli hukum pidana. Akibatnya, UU ini terasa seperti hukum pidana, padahal seharusnya UU narkotika itu memiliki pendekatan kesehatan dan rehabilitasi,” ujar Anang.
Menurutnya, pendekatan pemidanaan terhadap penyalahguna narkotika bertentangan dengan tujuan utama UU Narkotika, yakni menyelamatkan pengguna dari penyalahgunaan serta menjamin upaya rehabilitasi medis dan sosial, sebagaimana diatur dalam Pasal 4 UU Narkotika.
Alih-alih direhabilitasi, para penyalahguna justru ditahan dan dipenjara oleh aparat penegak hukum dan diputus bersalah oleh hakim menggunakan KUHP dan KUHAP.
“UU ini seharusnya bersumber pada konvensi internasional seperti Konvensi Tunggal Narkotika 1961 dan Konvensi PBB 1988, yang keduanya sudah diratifikasi Indonesia. Dalam konvensi tersebut jelas ada alternatif hukuman, bukan semata pemidanaan,” tambahnya.
Anang menyebut bahwa kekosongan tenaga ahli hukum narkotika di Indonesia menjadi penyebab utama dari kesalahan arah kebijakan ini. Ia mengungkapkan bahwa hingga kini tidak satu pun fakultas hukum di Indonesia yang mengajarkan hukum narkotika sebagai mata kuliah mandiri, dan belum ada satu pun Guru Besar di bidang tersebut.
“Indonesia kaya akan ahli hukum pidana, perdata, dan tata usaha negara, namun miskin akan ahli hukum narkotika,” sindir Anang.
Dampak dari pendekatan yang keliru ini sangat serius. Penjara di Indonesia menjadi over kapasitas, sementara upaya penyelamatan terhadap pengguna narkoba gagal dilakukan secara optimal.
“Persoalan narkotika di Indonesia ibarat ‘hilang satu, tumbuh seribu’ karena penanganannya tidak menyentuh akar masalah, yaitu pemulihan dan pencegahan,” pungkasnya.
Anang mendorong adanya reformasi menyeluruh terhadap UU Narkotika, yang melibatkan para pakar hukum narkotika yang memahami pendekatan kesehatan dan rehabilitasi. Ia juga mengusulkan agar hukum narkotika diajarkan di perguruan tinggi dan dikembangkan sebagai disiplin ilmu tersendiri.****
Tim DK.