Berau – Derap Kalimantan, 23 Mei 2025 –
Kebutuhan akan material bangunan berupa pasir lokal di wilayah pesisir Kabupaten Berau, Kalimantan Timur, terus menjadi persoalan krusial. Masyarakat di daerah seperti Lempake, Talisayan, Batu Putih hingga Biduk-Biduk terpaksa bergantung pada pasokan pasir dari Tanjung Redeb.
Akibat kelangkaan ini, sejumlah proyek pembangunan masyarakat maupun proyek pemerintah daerah mengalami keterlambatan dan stagnasi.
Menurut pengakuan warga pesisir, M. Gholib, kondisi ini telah berlangsung cukup lama. Ia menjelaskan bahwa pasir lokal dari wilayah pesisir dinilai tidak layak untuk konstruksi karena kandungan air asinnya. Akibatnya, masyarakat harus mendatangkan pasir dari Tanjung Redeb meskipun biaya transportasinya cukup tinggi dan waktu tunggunya bisa mencapai berminggu-minggu.
Masalah ini semakin rumit dengan munculnya dugaan adanya praktik pungutan liar atau istilah “cukai gelap” oleh oknum yang beroperasi di perairan.
Sejumlah sumber menyebutkan bahwa para pengangkut pasir dari Tanjung Redeb menuju wilayah pesisir kerap kali dihadang dan dimintai setoran oleh pihak yang mengaku aparat.
Informasi yang diperoleh tim investigasi Derap Kalimantan mengungkapkan bahwa setiap kapal pengangkut pasir harus membayar “setoran bulanan” sebesar Rp500.000 kepada seorang perantara berinisial BR, yang disebut-sebut merupakan oknum aparat dari luar wilayah Berau.
Jika kapal terkena razia, pemiliknya bisa dikenakan denda hingga Rp20 juta bahkan Rp60 juta per kapal.
Para pekerja pengangkut pasir memilih bungkam saat dimintai keterangan lebih lanjut. Beberapa di antaranya mengaku takut menjadi korban apabila membuka informasi lebih dalam. “Kalau kami bicara, bisa-bisa kami yang dihabisi. Kalau mau tahu kebenarannya, ikut saja naik perahu kami saat pengiriman pasir,” ujar seorang awak kapal yang enggan disebutkan namanya.
Wartawan Derap Kalimantan yang mencoba menggali lebih lanjut tentang identitas pelaku atau institusi yang terlibat, hanya mendapatkan respon berupa isyarat diam dan penyerahan kepada media untuk mengungkapnya. Sikap ini mencerminkan ketakutan di kalangan para pekerja.
Menariknya, oknum bernama BR, tersebut bahkan menjanjikan dapat mengurus izin galian C bagi para penambang lokal. Namun, menurut keterangan warga, sudah lebih dari dua tahun janji tersebut tak kunjung terealisasi. Hal ini menimbulkan pertanyaan besar tentang legalitas operasi serta peran aparat yang seharusnya mengawasi, bukan justru membebani masyarakat.
Kondisi ini menunjukkan lemahnya pengawasan terhadap distribusi material bangunan penting seperti pasir yang menjadi tulang punggung pembangunan infrastruktur. Pemerintah daerah diminta segera turun tangan untuk melakukan investigasi dan memberikan solusi konkret.
Masyarakat pesisir berharap adanya ketegasan dari pihak berwenang dalam menindak oknum yang menyalahgunakan wewenang, sekaligus dapat mempercepat distribusi material ke wilayah pesisir. Tutup mereka kepada media.(**).
Tim DK Pesisir.