Gbr. Ilustrasi ASN
Berita Opini,
Derap Kalimantan. Com, Sabtu, 23 Nov 2024
Perhelatan pemilihan kepala daerah serentak tahun 2024 sudah memasuki tahapan masa akhir kampanye hingga masa tenang, sudah barang tentu para kandidat berusaha semaksimal mungkin untuk memenangkan ajang pemilihan ini. Adu taktik dan strategi maupun kesolidan tim pemenangan akan menjadi penentu apakah kandidat berhasil meyakinkan pemilih untuk dimilih pada tanggal 27 November yang tinggal hitungan hari.
Pesta Demokrasi ini semakin dinamis dengan keluarnya beberapa putusan Mahkamah Konstitusi berkaitan dengan syarat pencalonan.
Kontestasi ini semakin menarik karena beberapa partai politik berhak mengajukan calon bersadarkan syarat yang telah diputuskan oleh Makkamah dalam arti tidak dimonopoli oleh beberapa partai atau koalisi partai saja sehingga tidak terjadi pembajakan kandidat dikarenakan tidak mendapatkan dukungan dari partai maupun koalisi partai.
Putusan Mahkamah Kontitusi memberi jalan kepada rakyat untuk bisa memilah maupun memilih siapa yang pantas dan layak memimpin mereka selama 5 tahun kedepan, sehingga demokrasi benar-benar terwujud sesuai dengan apa yang diamanatkan dalam konstitusi.
Yang tak kalah menarik dalam kontestasi ini munculnya calon petahana yang maju kembali menjadi kandidat.
Sebelum pendaftaran ada hal yang menjadi perhatian publik yang dilakukan oleh Bupati yang sedang menjabat yakni melaksanakan Mutasi Pejabat di lingkup pemerintah daerah, hal ini menjadi pertanyaan publik dan dibarengi beredarnya pernyataan bupati di akun media sosial maupun flayer-flayer yang dapat diinterpetasikan sebagai bentuk intimidasi verbal terhadap ASN, adapun bahasa dalam pernyataan sebagai berikut: “Terus terang saya katakan. Saya masih sangat bisa memutasi ASN. Jadi buat ASN dilingkup Pemerintah, jangan coba-coba melanggar, karena saya masih bisa memindahkan ASN yang tidak Loyal”. Dengan adanya pernyataan ini!, publik mempertanyakan proses mutasi atau rotasi ASN.
Apakah benar selama proses pilkada, Bupati dan Wakil Bupati dapat semena-mena melakukan mutasi dan rotasi? Jawaban tentu tidak benar, karena dalam ketentuan perundang-undangan sudah sangat jelas mengatur larangan mutasi dan rotasi pejabat daerah.
Penulis akan menyajikan narasi terkait larangan bagi petahana (Gubernur/Bupati/Walikota serta Wakilnya) yang maju dalam pemilihan serentak tahun 2024. Sebagaimana diatur pada pasal 71 Ayat (2) UU. 10 tahun 2016 sebagaimana diubah terakhir menjadi UU. 6 tahun 2020, dalam pasal tersebut ditegaskan bahwa “ Gubernur, Bupati, Walikota maupun Wakilnya dilarang melakukan pergantian pejabat 6 (enam) bulan sebelum tanggal penetapan pasangan calon sampai dengan akhir masa jabatan kecuali mendapatkan persetujuan tertulis dari menteri”.
Sebagai konsekuensi dari larangan ketentuan diatas. Pasal 71 ayat (5) adalah menerapkan sanksi pembatalan sebagai calon oleh KPU Propinsi atau KPU Kabupaten/Kota, hal ini sebagai konsekuensi sanksi administratif. Sedangkan sanksi pidana atas pelanggaran pasal 71 diataur pada pasal 186 ayat (6), pasal 188 dan pasal 190 yang masing-masing ada ketentuan pidananya, selain itu penjabaran secara teknis terkait pasal 71 ayat 2 dimana kewanangan Kepala Daerah pada Daerah yang melaksanakan Pilkada pada aspek kepegawaian dituangkan dalam Surat Edaran Mendagri No 100.2.1.3/1575/SJ yang di keluarkan pada tanggal 29 Maret 2024. Dalam surat ini sangat jelas tata cara dan mekanisme melaksanakan mutasi atau rotasi pejabat daerah. Kembali pada pelanggaran pasal 71 ayat 2 dalam undang-undang pemilihan, pada pasal ini ditegaskan yang menjadi objek hukumnya adalah Gubernur atau Wakil Gubernur, Bupati atau Wakil Bupati, dan Walikota atau wakil Walikota. Secara definisi konstitusional dalam pasal 18 ayat 4 Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945 adalah Gubernur, Bupati dan Walikota masing-masing sebagai kepala pemerintah daerah propinsi, kabupaten dan kota yang dipilih secara demokratis”.
Dengan demikian diperoleh penegasan bahwa yang dimaksud dengan diksi petahana adalah Gubernur, Bupati atau Walikota serta Wakilnya yang akan mencalonkan diri lagi dalam pemilihan kepala daerah dilarang melanggar pasal 71 ayat (2) dan Ayat (3) Undang-undang Pemilihan.
Pelanggaran terhadap ketentuan ini sebagaimana di jelaskan diatas adalah sanksi pembatalan sebagai calon dan sanksi pidana. Oleh karena itu kami meminta kepada Komisi Pemilihan Umum Daerah (KPUD) maupuan Badan Pengawas Pemilihan Umum (Bawaslu) didaerah sebagai lembaga yang berwenang dan beri mandat oleh undang-undang sebagai penyelenggara Pemilihan agar tetap objektib dan tegas dalam menjalankan peraturan perundang-undangan.
Tindak tegas pelanggaran-pelanggaran pemilihan agar menciptakan pemilihan yang tertib serta berkeadilan sehingga proses Pemilihan Kepala Daerah dapat berjalan sesuai prinsip dan asas pemilihan. Hentikan praktek-praktek intimisasi dan kesewenang-wenangan yang dilakukan oleh salah satu kandidat yang nantinya bisa mencorengkan proses demokrasi.
Kami mengingatkan bahwa mutasi maupun rotasi yang tidak sesuai dengan peraturan perundang-undangan dapat dikenai sanksi administratif maupun pidana pemilihan sesuai dengan apa yg tertuang dalam peraturan perundangan-undangan yg berlaku.(**).
(Tim DK).