BERAU – Proyek peningkatan infrastruktur jalan di Jalan Poros Kampung Semanting, Kabupaten Berau, Kalimantan Timur, kembali menjadi sorotan tajam media lokal dan nasional. Proyek jalan aspal senilai Rp 1,7 miliar yang bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) Kabupaten Berau Tahun Anggaran 2024 itu kini menuai kritik karena ditemukan dalam kondisi retak dan terancam longsor, hanya berselang beberapa bulan pasca-pengerjaan.(23/6).
Proyek ini dikerjakan oleh CV. Fairuz Jaya Gemilang, dengan masa pelaksanaan mulai 19 November hingga 19 Desember 2024, sesuai informasi dari papan proyek yang terpasang di lokasi. Namun, berdasarkan pantauan awak media di lapangan, kondisi beberapa titik jalan sudah menunjukkan kerusakan serius berupa retakan memanjang dan kontur jalan yang mulai turun, memperlihatkan indikasi kelalaian atau bahkan potensi pelanggaran teknis dalam pelaksanaan.
Kondisi ini sangat membahayakan pengguna jalan dan menimbulkan kekhawatiran akan potensi longsor jika tidak segera ditangani. Masyarakat serta pengamat publik mempertanyakan kualitas pekerjaan dan ketebalan aspal yang tidak sesuai standar, apalagi mengingat besarnya dana yang digelontorkan pemerintah untuk proyek ini.
Media, sebagai pilar keempat demokrasi yang menjalankan fungsi kontrol sesuai amanat Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers, berkewajiban mengawasi jalannya pemerintahan serta pelaksanaan proyek-proyek publik, termasuk memastikan adanya transparansi dan akuntabilitas dalam penggunaan dana negara. Dugaan penyimpangan yang muncul dalam proyek ini mencerminkan lemahnya pengawasan dan perlunya evaluasi serius terhadap pelaksana proyek.
Pemerintah Kabupaten Berau melalui Organisasi Perangkat Daerah (OPD) teknis yang berwenang diminta untuk tidak menutup mata. Sesuai amanat Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah dan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara, setiap penggunaan anggaran harus memenuhi asas efisiensi, efektivitas, dan transparansi. Jika terbukti terdapat kelalaian atau pelanggaran prosedur, maka pejabat penanggung jawab dan kontraktor bisa dikenakan sanksi administratif bahkan pidana berdasarkan UU Tipikor Nomor 31 Tahun 1999 jo. UU Nomor 20 Tahun 2001.
Selain itu, pihak penegak hukum seperti Kejaksaan dan Kepolisian diminta turun tangan melakukan audit fisik proyek secara menyeluruh. Masyarakat memiliki hak untuk mengetahui apakah dana publik digunakan secara benar dan bertanggung jawab. Apalagi, dalam kasus ini, dugaan kecurangan konstruksi dapat berujung pada pemborosan anggaran negara dan membahayakan keselamatan publik.
Hingga berita ini diterbitkan awak media coba mengonfirmasi pihak-pihak yang ada, namun tidak ada tanggapan sama sekali.
Demi mencegah kerugian yang lebih besar, Pemerintah Daerah harus mengambil langkah tegas—mulai dari melakukan evaluasi menyeluruh terhadap proyek ini, memanggil kontraktor pelaksana untuk bertanggung jawab, hingga memberikan sanksi administratif atau pemutusan kontrak jika terbukti wanprestasi. Pemeriksaan teknis independen juga diperlukan untuk menilai kembali kelayakan dan spesifikasi jalan yang telah dibangun.
Kasus ini menjadi contoh nyata pentingnya pengawasan publik dan peran media dalam memastikan proyek infrastruktur yang didanai negara benar-benar memberikan manfaat bagi masyarakat. Jalan bukan hanya sarana transportasi, tapi juga simbol integritas dan tanggung jawab pemerintah terhadap rakyat.****
Jurnalis : ADI -RED