Humas MA, Jakarta
Rabu,19 November 2025
Unsur kesalahan ini sangat penting sebab menjadi pokok yang membedakan seseorang yang berbuat jahat dengan seseorang yang tidak berbuat jahat.
Di dalam hukum pidana dikenal suatu asas yang berbunyi “tiada pidana tanpa kesalahan” atau dalam bahasa Belanda disebut dengan “geen straf zonder schuld”. Artinya seseorang tidak boleh dipidana apabila ia tidak memiliki niat jahat (mens rea) untuk melakukan suatu tindakan yang diancam hukuman pidana (actus reus).
Unsur kesalahan ini sangat penting sebab menjadi pokok yang membedakan seseorang yang berbuat jahat dengan seseorang yang tidak berbuat jahat.
Misalnya seseorang yang sudah melakukan segala sesuatu dengan benar sesuai dengan prosedur dan akal sehat ternyata masih menimbulkan kerugian bagi orang lain baik harta maupun fisik, maka ia tidak bisa dipidana karena tidak ada unsur kesalahan baik berupa kesengajaan (dolus) maupun kealpaan/kelalaian (culpa).
Dalam hukum pidana sangat penting untuk membedakan dua jenis kesalahan ini. Suatu tindak pidana yang dilakukan dengan kesengajaan tentu harus dihukum lebih tinggi daripada tindak pidana karena kelalaian/kealpaan. Sebab tentunya tidak adil menyamakan suatu tindak pidana yang terjadi karena kelalaian dengan kesengajaan yang mana hal tersebut dilihat berdasarkan niat pelaku dan pelaksanaan atau terjadinya tindak pidana.
Di dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Indonesia yang lama (UU No. 1/1946 selanjutnya disebut “KUHP Lama”), kedua jenis kesalahan ini (dolus dan culpa) dituangkan sebagai unsur delik pada sebagian besar pasal-pasal pidana yang ada di dalamnya.
Misalnya dalam delik pembunuhan Pasal 338-342 KUHP lama, unsur kesengajaan menjadi sentral. Sebab unsur kesengajaan ini yang akan membedakan mana delik pembunuhan, mana delik kelalaian menyebabkan kematian, dan mana tindakan faktual biasa yang tidak bisa dipidana.
Misal apabila seseorang (A) memiliki alergi kacang (peanut allergy) yang parah dan bisa menyebabkan mati, kemudian ia diberikan suatu makanan yang mengandung kacang oleh orang lain (B), di mana B tidak tahu bahwa A memiliki alergi kacang yang parah dan berpotensi menyebabkan kematian. Pertanyaannya apakah B bersalah melakukan pembunuhan (Pasal 338 KUHP Lama), atau kelalaian menyebabkan mati (Pasal 359 KUHP Lama), atau tidak bisa dipidana karena tidak memenuhi unsur kesengajaan (lepas)?
Untuk menjawab ini hakim dan penuntut umum harus membuktikan adanya unsur kesalahan yang dilakukan B apakah Kesengajaan (dolus) atau kelalaian (culpa).
Penghapusan Unsur Kesengajaam dalam KUHP Baru
Pada UU No. 1/2023 (KUHP Baru), seluruh delik yang pada mulanya mengandung unsur kesengajaan kini tidak lagi mengandung unsur kesengajaan. Sebab menurut pembuat undang-undang unsur tersebut sudah dianggap terinkorporasi dalam deliknya. Misalnya Pasal 458 dan Pasal 459 KUHP Baru tentang Pembunuhan dan Pembunuhan Berencana.
Sedangkan khusus untuk delik-delik yang mengandung unsur kealpaan/kelalaian, tetap mencantumkan unsur kelalaian (culpa) misalnya Pasal 474 ayat (3) KUHP Baru tentang kelalaian menyebabkan mati.
Dengan demikian menurut KUHP Baru seolah-olah jika ada seseorang mati, dan kematian tersebut disebabkan oleh perbuatan seseorang, maka otomatis kematian tersebut disebabkan terjadi karena kesengajaan seseorang atau kelalaian seseorang.
Dalam konteks kasus alergi kacang si A di atas, maka otomatis B harus dipidana karena bersalah melakukan delik merampas nyawa orang lain sesuai Pasal 458 ayat (1) KUHP Baru. Mengapa? Sebab menurut KUHP Baru perbuatan tersebut otomatis adalah suatu kesengajaan, karena bukan merupakan kelalaian. A tidak pernah memberitahu B bahwa ia alergi kacang, dan untuk ukuran orang Indonesia sangat jarang yang memiliki alergi kacang yang dapat menyebabkan kematian, sehingga hal ini bukan merupakan kelalaian.
Pertanyaannya kenapa B dianggap bersalah? Karena penuntut umum dan hakim tidak perlu membuktikan adanya unsur kesengajaan dalam tindakan si B memberi makanan yang mengandung kacang yang menyebabkan matinya A. Intinya nyawa A dirampas oleh perbuatan si B, meski pun niat B bukan untuk merampas nyawa A.
Berikut adalah uraian pemenuhan unsur Pasal 458 ayat (1) KUHP Baru: โSetiap Orang (1) yang merampas nyawa orang lain (2), dipidana karena pembunuhan, dengan pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun.โ
Unsur delik di atas hanya dua yakni โSetiap Orangโ dan โMerampas nyawa orang lainโ.
Unsur โSetiap Orangโ: B adalah orang, manusia / natuurlijk person, sehingga unsur ini terpenuhi.
Unsur โMerampas nyawa orang lainโ: Tindakan B memberikan makanan mengandung kacang telah menyebabkan A mati karena ia memiliki alergi kacang yang bisa menyebabkan kematian. Tindakan/Perbuatan B telah merampas nyawa A.
Mengapa hal ini bisa terjadi? Sebab tidak ada unsur โkesengajaanโ (dolus) di dalam Pasal 458 ayat (1) KUHP Baru. Penuntut umum dan Hakim tidak perlu mencari bukti apakah B sengaja atau tidak, yang penting A mati karena tindakan B, sebab Pembunuhan adalah delik Materil (Perbuatan yang dianggap sebagai delik apabila akibat yang dimaksud dalam unsur delik telah terjadi, dalam hal ini hilangnya nyawa orang lain).
Hilangnya Kewajiban Pembuktian Mengenai Kehendak (Willen) dan Pengetahuan (Wetten) sebagai Uraian Unsur Kesengajaan
Dalam Memorie van Toelichting (MvT) atau Penjelasan KUHP Lama (Wetboek van Strafrecht), dijelaskan bahwa yang dimaksud โsengajaโ (opzet) adalah jika si pelaku โmenghendakiโ (willen) dan โmengetahuiโ (wetten) tindakannya (apabila delik formil) atau akibat dari perbuatannya (apabila delik materil).
Misal, dalam delik formil pembunuhan dengan sengaja berarti si pelaku harus mengetahui dan menghendaki bahwa perbutaannya akan menyebabkan matinya korban.
Dengan hilangnya unsur โSengajaโ pada delik-delik kesengajaan di KUHP Baru, artinya hakim dan penuntut umum tidak lagi perlu membuktikan bahwa pelaku menghendaki dan mengetahui bahwa perbuatannya akan menyebabkan matinya korban. Sehingga dalam kasus alergi kacang di atas maka B pasti dianggap bersalah melakukan pembunuhan sesuai Pasal 458 ayat (1) KUHP Baru.
Berdasarkan penjelasan MvT KUHP Lama di atas mengenai unsur kesengajaan, jelas mana yang merupakan tindak pidana/peristiwa pidana (strafbaar feit), mana yang merupakan perbuatan material biasa (materiele daad).
Permasalahan dari KUHP Baru bukan mengenai konsep perbuatannya, tetapi dari segi pembuktian unsurnya. KUHP Baru sudah jelas dalam membedakan delik kesengajaan dan kealpaan, tetapi gagal dalam membedakan antara perbuatan biasa (materiele daad) dengan peristiwa/tindak pidana (strafbaar feit).
Dengan tidak adanya unsur Kesengajaan pada KUHP Baru, maka Kesengajaan tidak perlu dibuktikan. Artinya tidak lagi perlu membuktikan adanya mens rea atau niat jahat, sepanjang perbuatan seseorang menyebabkan matinya orang lain maka ia dapat dinyatakan oleh hakim bersalah membunuh orang.
Tradisi Hukum Indonesia menganut Tradisi Hukum Civil Law yang mengutamakan asas legalitas terutama di bidang hukum publik. Buktinya Indonesia menganut Kodifikasi dalam KUHP Baru.
Dalam tradisi Civil Law, khususnya di bidang hukum Pidana, dikenal tiga asas yang sangat penting yakni Hukum Pidana sebagai Lex Certa (Hukum yang jelas), Lex Stricta (Hukum yang Ketat), dan Lex Scripta (Hukum yang Tertulis). Artinya Hukum pidana harus jelas (tidak boleh ambigu), ketat (tidak boleh dilakukan analogi), dan harus tertulis (tidak boleh berdasarkan kebiasaan โ Pengejawantahan asas legalitas nullum delictum nulla poena sine previa leges poenale).
Bahkan untuk mengesampingkan asas Lex Scripta dan asas Legalitas pada Pasal 1, KUHP Baru mendelegasikan delik-delik adat kepada Peraturan Daerah dalam Penjelasan Pasal 2 ayat (1) KUHP Baru. Artinya sebenarnya KUHP Baru ini cukup ketat dalam pengaturan pidana, yang bahkan mengenai hukum pidana adat pun harus dibuat bentuk tertulis melalui Peraturan Daerah (Penjelasan Pasal 2 ayat (1) KUHP Baru Jo. Pasal 15 UU 12/2011).
Seharusnya dalam konteks penerapan lex scripta, lex stricta dan lex certa ini KUHP Baru juga konsisten menerapkannya dalam delik-delik non-kealpaan. Sehingga memang harusnya unsur kesengajaan menjadi unsur yang dimasukkan dalam delik non-kealpaan agar menjadi wajib dibuktikan di persidangan oleh penuntut umum dan hakim (Pasal 183 KUHAP).
Unsur Kesengajaan merupakan unsur yang sangat penting dalam hukum pidana, sehingga ia tidak boleh dihapuskan dalam delik yang bukan merupakan delik kealpaan/kelalaian. Sebab tidak semua perbuatan yang bukan delik kealpaan otomatis menjadi delik kesengajaan, bisa jadi justru perbuatan tersebut bukan tindak pidana karena tidak ada kesengajaan di dalamnya.
Oleh karena itu penting sekali untuk mempertimbangkan kembali eksistensi unsur Kesengajaan dalam delik-delik selain delik kealpaan dalam KUHP Baru Indonesia.
Penulis: Muhammad Adiguna Bimasakti















