Berau, Kaltim – Jum’at, (31/10/2025), Dugaan penyimpangan dalam penerbitan Surat Keterangan Penguasaan Tanah (SKPT) dan sertifikat tanah di kawasan eks PT. Inhutani I, Kelurahan Sei Bedungun, Kecamatan Tanjung Redeb, Kabupaten Berau, mencuat dan memicu pertanyaan di tengah masyarakat?
Warga di Jalan Sultan Agung yang telah lama mengajukan permohonan legalisasi lahan mengaku merasa dianaktirikan. Sementara itu, sejumlah oknum pejabat dan pengusaha justru diduga telah memperoleh SKPT dan sertifikat di kawasan yang sama—yang seharusnya masih berstatus lahan moratorium.
Sorotan SKPT dan Sertifikat Terbit di Atas Lahan Terlarang?
Berdasarkan hasil penelusuran awak media, penerbitan SKPT dan sertifikat tersebut diduga melanggar Surat Wakil Bupati Berau Nomor 030/773/BPKAD-E/2021, yang secara tegas melarang penerbitan dokumen legalitas tanah di kawasan eks PT. Inhutani I seluas 22 hektar.
Surat tersebut ditujukan kepada:
1. Camat Tanjung Redeb
2. Lurah Sei Bedungun
3. Ketua RT 4 dan RT 10
4. Kepala Kantor Pertanahan (BPN) Kabupaten Berau
Namun, fakta di lapangan menunjukkan sejumlah SKPT dan sertifikat telah terbit di lokasi tersebut—termasuk di area yang berbatasan langsung dengan RSUD Tanjung Redeb dan lapangan golf milik PT. Inhutani I.
Beberapa titik koordinat bahkan dapat ditelusuri melalui aplikasi, terlihat beberapa titik koordinat tanda ada penerbitan dari SKPT bahkan Sertifikat.
Saat dikonfirmasi, Kepala Kantor Pertanahan Kabupaten Berau, Jhon Palapa, S.Si, menyatakan bahwa sertifikat untuk lahan RSUD Tanjung Redeb masih dalam proses dan belum diterbitkan.
Namun, ketika ditanya mengenai dasar hukum penerbitan sertifikat di kawasan eks PT. Inhutani I, ia enggan memberikan penjelasan rinci.
Palapa juga menegaskan saat menjadi Kepala BPN Berau tidak ada pengajuan sertifikat baru di atas lahan 22 hektar eks PT. Inhutani I, yang disebutnya masih terikat dengan SK Bupati Berau serta kesepakatan antara Pemkab Berau dan pihak PT. Inhutani I.
Namun, temuan lapangan justru menunjukkan hal sebaliknya — sejumlah sertifikat diketahui telah terbit di area tersebut.
Hingga kini belum diketahui, Siapa kepala BPN yang bertugas saat itu?
Awak media sendiri saat mengkonfirmasi temuan penerbitan sertifikat yang ada belum ada jawaban.
Sementara, keluhan warga Sultan Agung status lahannya belum ada solusi.
Ini penjelasan, dari Pihak Kecamatan saat dikonfirmasi :
Pihak Kecamatan Tanjung Redeb mengaku berada dalam posisi sulit.
“Kami ini dilema. Masyarakat datang ingin dilayani, tapi ada aturan yang harus kami patuhi. Kalau kami langgar, bisa jadi masalah hukum,” ujar salah satu pejabat kecamatan yang enggan disebutkan namanya.
Dasar Hukum Kepemilikan PT. Inhutani I Masih Kuat
Menurut data yang dihimpun pihak kecamatan, PT. Inhutani I masih memiliki dasar hukum kepemilikan sah atas lahan tersebut, di antaranya:
1. Fatwa Tata Guna Tanah Nomor 025/FHGU/81 tertanggal 12 Mei 1981 seluas 22 hektar.
2. SK Gubernur Kaltim Nomor 22/590-10/UM.20/1987, tentang pencadangan areal tanah seluas 220.000 m² di Kelurahan Sei Bedungun.
3. Keputusan Kepala Kantor Pertanahan Kabupaten Berau Nomor 54/BPN-BER/II-54/X/1998, tentang izin lokasi untuk pembangunan perkantoran, perumahan, pembibitan, dan sarana olahraga.
Dengan dasar tersebut, pemerintah kecamatan menilai bahwa penerbitan SKPT di atas lahan yang masih memiliki hak hukum aktif berpotensi menimbulkan konflik serius dan cacat hukum.
Payung Hukum yang Dilanggar
Selain SK Bupati yang ditandatangani Wakil Bupati, larangan penerbitan surat tanah di kawasan eks PT. Inhutani I juga diperkuat oleh:
1. Surat Pernyataan Bersama Camat Tanjung Redeb dan Lurah Sei Bedungun Nomor 242/Pem-CTR/2021, serta
2. Peraturan Daerah Kabupaten Berau Nomor 5 Tahun 2019 tentang Penyelenggaraan Administrasi Penguasaan Tanah Negara.
Pasal 7 ayat (2) Perda tersebut secara tegas menyebutkan bahwa tanah tidak dapat dijadikan objek penerbitan SKPT apabila:
(d) berada di atas tanah yang telah diterbitkan hak atas tanah, atau
(e) berada di atas tanah yang telah dikuasai pemerintah.
Dengan demikian, setiap SKPT dan sertifikat yang diterbitkan di kawasan eks PT. Inhutani I patut diduga cacat hukum dan berpotensi batal demi hukum.
Sementara itu, warga yang telah bertahun-tahun menunggu kepastian legalitas lahan merasa terdzalimi dan tidak diperlakukan adil.
Mereka menilai pemerintah tegas kepada rakyat kecil, namun longgar terhadap pejabat dan pengusaha.
“SK Bupati itu seolah hanya berlaku bagi masyarakat biasa. Tapi untuk pejabat dan pengusaha, seperti tidak ada aturan,” ujar salah satu warga dengan nada kecewa.
Masyarakat kini mendesak Bupati Berau untuk turun tangan langsung dan melakukan audit serta investigasi terhadap penerbitan SKPT dan sertifikat di kawasan eks PT. Inhutani I. Pertanyaan: “Apakah penebitan SKPT dan Sertifikat diketahui Bupati, dilahan moratorium”?
Warga juga meminta Pemkab Berau dan PT. Inhutani I segera duduk bersama mencari solusi yang adil, sebagaimana pernah dilakukan saat Pemkab meminta 10 hektar lahan untuk pembangunan RSUD Tanjung Redeb.
Kasus ini memperlihatkan tumpang tindih kewenangan serta lemahnya pengawasan administrasi pertanahan di daerah.
Selama belum ada kesepakatan final antara pemerintah daerah dan PT. Inhutani I, masyarakat akan terus menjadi korban tarik-menarik kepentingan.
🧭 Catatan Redaksi:
Tim DerapKalimantan.com akan terus menelusuri dan mengonfirmasi fakta-fakta terkait dugaan keterlibatan oknum pejabat dalam penerbitan sertifikat di kawasan moratorium tersebut.***
Tim DerapKalimantan. Com
Editor: Marihot
 
			 
                                 
					
 
                                 
                                
 
							












