Jakarta, Kejaksaan Agung – Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Umum (JAM-Pidum) Prof. Dr. Asep Nana Mulyana memimpin ekspose virtual terkait persetujuan 17 kasus penyelesaian perkara melalui mekanisme Restorative Justice (Keadilan Restoratif) pada Senin, 20 Januari 2025. Salah satu kasus yang disetujui adalah perkara pencurian yang melibatkan tersangka Muhiddin bin Muh Muis dari Kejaksaan Negeri Grobogan.
Muhiddin disangka melanggar Pasal 362 KUHP tentang pencurian. Peristiwa bermula pada 11 Desember 2024, saat tersangka memasuki rumah korban, Mohammad Subakir, di Dusun Tugu, Desa Pahesan, Kecamatan Godong, Grobogan. Muhiddin, yang saat itu mengalami tekanan finansial akibat harus melunasi utang pengobatan ibunya, mencuri sepeda motor Honda Vario 150 bernomor polisi K-6499-AEF.
Namun, kerugian korban senilai Rp15 juta dapat dipulihkan setelah barang bukti berupa sepeda motor dikembalikan. Korban, yang menganggap tersangka sebagai anak sendiri, telah memaafkan tindakan tersebut dan menginisiasi penyelesaian perkara melalui mekanisme restorative justice.
Jaksa Penuntut Umum (JPU) Kejaksaan Negeri Grobogan memfasilitasi proses ini hingga disepakati oleh kedua belah pihak. JAM-Pidum menyetujui penghentian penuntutan pada ekspose yang berlangsung 15 Januari 2025.
Persetujuan untuk 16 Kasus Lain
Selain kasus di Grobogan, JAM-Pidum juga menyetujui penyelesaian 16 perkara lainnya melalui restorative justice. Beberapa di antaranya adalah:
Dodi Pratama (Kejari Kendari) – Pasal 372 KUHP tentang penggelapan.
Sulfahmi bin Rudi (Kejari Palu) – Pasal 480 Ayat (1) KUHP tentang penadahan.
Ebenezer Sihombing (Kejari Badung) – Pasal 351 Ayat (1) KUHP tentang penganiayaan.
I Ketut Wijaya Mataram (Kejari Karangasem) – Pasal 351 Ayat (1) KUHP tentang penganiayaan.
Restorative justice dilakukan berdasarkan sejumlah pertimbangan, seperti:
Adanya proses perdamaian antara tersangka dan korban.
Tersangka meminta maaf dan berjanji tidak mengulangi perbuatan.
Perbuatan pidana baru pertama kali dilakukan.
Ancaman pidana tidak lebih dari lima tahun.
Perdamaian dilakukan secara sukarela tanpa tekanan.
Kepala Kejaksaan Negeri di seluruh wilayah yang terlibat diinstruksikan untuk segera menerbitkan Surat Ketetapan Penghentian Penuntutan (SKP2) sesuai Peraturan Kejaksaan Republik Indonesia Nomor 15 Tahun 2020.
“Restorative justice menjadi wujud kepastian hukum yang lebih mengedepankan kemanusiaan dan harmoni sosial,” ujar JAM-Pidum Prof. Dr. Asep Nana Mulyana.(**).
Marihot.
Sumber: Kepala Pusat Penerangan Hukum