Jakarta, Derap Kalimantan | 24 Februari 2025 – Tim Penyidik Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus (JAM PIDSUS) menetapkan dan menahan tujuh tersangka dalam kasus dugaan tindak pidana korupsi terkait tata kelola minyak mentah dan produk kilang PT Pertamina (Persero), Subholding, serta Kontraktor Kontrak Kerja Sama (KKKS) pada periode 2018–2023.
Penyidikan kasus ini dilakukan berdasarkan empat Surat Perintah Penyidikan, yang diterbitkan mulai 24 Oktober 2024 hingga 15 Februari 2025. Berdasarkan pemeriksaan 96 saksi, dua ahli, serta penyitaan 969 dokumen dan 45 barang bukti elektronik, penyidik menemukan bukti kuat adanya praktik korupsi yang merugikan keuangan negara.
Dari hasil penyelidikan, tujuh orang ditetapkan sebagai tersangka, yaitu:
RS, Direktur Utama PT Pertamina Patra Niaga
SDS, Direktur Feedstock and Product Optimization PT Kilang Pertamina Internasional
YF, Direktur Utama PT Pertamina International Shipping
AP, VP Feedstock Management PT Kilang Pertamina Internasional
MKAR, Beneficial Owner PT Navigator Khatulistiwa
DW, Komisaris PT Navigator Khatulistiwa dan Komisaris PT Jenggala Maritim
GRJ, Komisaris PT Jenggala Maritim dan Direktur Utama PT Orbit Terminal Merak
Setelah menjalani pemeriksaan kesehatan, para tersangka langsung ditahan selama 20 hari di Rumah Tahanan Negara Salemba Cabang Kejaksaan Agung dan Kejaksaan Negeri Jakarta Selatan.
Modus Operandi dan Kerugian Negara
Berdasarkan hasil penyidikan, para tersangka diduga terlibat dalam rekayasa kebijakan pemenuhan minyak mentah dalam negeri. Mereka sengaja menurunkan produksi kilang dalam negeri, sehingga minyak mentah dari KKKS tidak terserap dan justru diekspor. Akibatnya, untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri, PT Kilang Pertamina Internasional dan PT Pertamina Patra Niaga melakukan impor dengan harga lebih tinggi.
Selain itu, penyidik menemukan adanya praktik pemufakatan jahat dalam pengadaan minyak mentah dan produk kilang. Para tersangka diduga telah mengondisikan pemenang tender sebelum proses lelang dilakukan. Harga pembelian impor pun sengaja digelembungkan (mark-up), termasuk kontrak pengiriman, yang menyebabkan negara membayar fee 13–15% secara ilegal.
Praktik ini berdampak pada tingginya Harga Indeks Pasar (HIP) Bahan Bakar Minyak (BBM), yang kemudian menjadi dasar penentuan kompensasi dan subsidi BBM dari APBN. Total kerugian negara akibat kasus ini mencapai Rp193,7 triliun, terdiri dari:
Rp35 triliun akibat ekspor minyak mentah dalam negeri
Rp2,7 triliun akibat impor minyak mentah melalui perantara (broker)
Rp9 triliun akibat impor BBM melalui broker
Rp126 triliun dari pemberian kompensasi BBM pada 2023
Rp21 triliun dari pemberian subsidi BBM pada 2023
Para tersangka dijerat dengan Pasal 2 ayat (1) atau Pasal 3 jo. Pasal 18 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, yang telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001, jo. Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.
Langkah Kejaksaan Agung
Kejaksaan Agung berkomitmen menuntaskan kasus ini dan menindak tegas pihak-pihak yang terlibat dalam praktik korupsi tata kelola minyak mentah. Penyidik masih terus mengembangkan perkara untuk mengungkap aktor lain yang berperan dalam kejahatan ini.(Marihot).
Sumber:
Kepala Pusat Penerangan Hukum Kejaksaan Agung