Berau, Derap Kalimantan – 3 November 2025, Budaya pelayanan istimewa bagi tamu pemerintahan di Kabupaten Berau kembali menjadi sorotan publik. Di tengah kebijakan efisiensi anggaran nasional, praktik pemberian fasilitas berlebihan kepada tamu dari lembaga pemerintah pusat maupun institusi vertikal justru masih berlangsung di daerah.
Fenomena ini bukan hal baru. Dalam setiap kunjungan kedinasan, baik dari kementerian, lembaga negara, maupun aparat penegak hukum, Pemerintah Kabupaten (Pemkab) kerap memberikan layanan ekstra di luar ketentuan yang berlaku. Pelayanan tersebut mencakup fasilitas transportasi, akomodasi, hingga jamuan yang melampaui batas kewajaran.
Padahal, di awal tahun 2025, pemerintah pusat telah menetapkan kebijakan pemangkasan anggaran secara menyeluruh—mulai dari kementerian, lembaga, hingga transfer ke daerah (TKD). Tujuannya jelas: menekan pemborosan dan memastikan belanja publik lebih efisien. Namun, praktik “basa-basi birokrasi” ini justru bertolak belakang dengan semangat efisiensi tersebut.
Seorang pemerhati pembangunan di Kabupaten Berau yang enggan disebut namanya menilai, pola pelayanan berlebihan itu sudah menjadi semacam “kewajiban tak tertulis”. “Harusnya tamu yang datang dalam tugas kedinasan tidak lagi meminta fasilitas dari tuan rumah. Setiap perjalanan dinas sudah punya anggarannya masing-masing,” ujarnya.
Ia menilai, budaya semacam ini tidak hanya membebani anggaran pemerintah daerah, tetapi juga membuka ruang ketimpangan dan potensi praktik tidak sehat. “Kadang muncul tekanan psikologis agar pemerintah daerah memberi lebih, padahal itu bisa menimbulkan efek domino. Pengusaha lokal ikut terbebani, bahkan ada yang memanfaatkan situasi untuk berlindung di balik relasi kuasa,” katanya menambahkan.
Dari sejumlah sumber yang dihimpun Derap Kalimantan, praktik pelayanan ekstra ini juga menciptakan ketimpangan ekonomi lokal. Beberapa pengusaha yang kerap dilibatkan dalam pembiayaan kegiatan tamu merasa terpaksa ikut menanggung beban. Di sisi lain, pengusaha yang memiliki hubungan dengan oknum pejabat justru diuntungkan dan seolah mendapat perlindungan tidak resmi.
Para pemerhati menilai, pemerintah daerah seharusnya berani memutus rantai budaya “takut” terhadap tamu institusi pusat. “Kalau terus dibiarkan, pola seperti ini bisa menumbuhkan siklus korupsi terselubung dan menjadi warisan bagi generasi birokrat berikutnya,” tegas sumber tersebut.
Kritik publik ini menjadi cermin bagi pemerintah daerah di seluruh Indonesia agar berani melakukan pembenahan budaya birokrasi. Pelayanan kepada tamu negara memang penting, tetapi efisiensi dan integritas seharusnya menjadi nilai utama dalam setiap langkah pemerintahan.***
Tim DK Berau
Editor: Marihot















