Derap Kalimantan, Kamis, 9 Januari 2025
Oleh: Marihot Silitonga
Fenomena penolakan istilah “Batak” oleh suku-suku seperti Pakpak, Karo, Simalungun, Mandailing, dan Angkola bukanlah hal baru. Bahkan, sejak tahun 1922, Suku Mandailing telah memenangkan perkara di pengadilan untuk menolak penyebutan tersebut. Penolakan ini berakar pada sejarah panjang dan dinamika identitas budaya di Sumatera Utara.
Asal Usul Istilah “Batak”
Istilah “Batak” pertama kali digunakan oleh masyarakat Melayu untuk merujuk penduduk pedalaman Sumatera yang memiliki budaya berbeda dan belum terpengaruh Islam. Kolonial Belanda kemudian memopulerkan istilah ini untuk mengidentifikasi beberapa kelompok etnis di Sumatera Utara, termasuk:
Suku Toba
Suku Karo
Suku Simalungun
Suku Mandailing
Suku Pakpak
Suku Angkola
Dalam perkembangannya, istilah “Batak” menjadi identitas bersama bagi kelompok-kelompok ini, terutama melalui peran zending (misi Kristen) dari Rheinische Missionsgesellschaft (RMG) dan gereja HKBP. Suku Toba secara perlahan meleburkan identitas mereka ke dalam istilah “Batak,” namun suku-suku lain merasa terpinggirkan.
Marginalisasi dan Ketegangan Antar-SukuIstilah “Batak” sering diasosiasikan dengan Suku Toba, sehingga suku-suku lain merasa identitas mereka terabaikan. Hal ini menyebabkan marginalisasi budaya, sosial, dan ekonomi bagi beberapa kelompok. Berikut dampaknya:
Suku Karo: Merasa kurang diakui dalam budaya dan tradisi.
Suku Simalungun: Mengalami penurunan pengakuan terhadap adat istiadat mereka.
Suku Mandailing: Kesulitan mempertahankan identitas di tengah dominasi istilah “Batak.”
Suku Pakpak: Menghadapi tekanan untuk meleburkan identitas budaya mereka.
Suku Angkola: Terpinggirkan dalam pengakuan budaya.
Marginalisasi ini semakin terlihat dalam pembangunan ekonomi dan politik. Misalnya, pembangunan besar-besaran di sekitar Danau Toba lebih banyak menguntungkan Suku Toba, sementara kelompok lain merasa tersisih.
Faktor Penyebab Kontroversi
Sejarah dan Politik
Penggunaan istilah “Batak” oleh kolonial Belanda untuk memetakan kelompok etnis tertentu.
Peran zending dalam memperkenalkan agama Kristen dan membentuk identitas “Batak.”
Politisasi identitas “Batak” oleh pemerintah kolonial dan Indonesia.
Identitas dan Eksklusivitas
Istilah “Batak” cenderung eksklusif bagi Suku Toba, sehingga menimbulkan rasa superioritas.
Kurangnya pengakuan terhadap keberagaman suku-suku lain di Sumatera Utara.
Sosial dan Budaya
Perbedaan budaya dan tradisi antar-suku tidak diakomodasi dengan baik, menyebabkan ketegangan sosial.
Pengaruh globalisasi dan media sosial memperkuat stereotip dan eksklusivitas.
Dampak Lain
Kehilangan identitas budaya suku-suku selain Toba.
Konflik internal dan eksternal akibat kurangnya penghargaan terhadap keberagaman.
Solusi untuk Mengatasi Kontroversi
Kontroversi ini membutuhkan langkah konkret untuk menjaga harmoni di Sumatera Utara. Beberapa upaya yang dapat dilakukan meliputi:
Dialog Antar-Suku: Mengadakan diskusi terbuka untuk membangun pemahaman dan toleransi.
Pendidikan Budaya: Mengajarkan pentingnya keberagaman budaya di sekolah dan komunitas.
Promosi Inklusivitas: Menghargai tradisi masing-masing suku tanpa mereduksi identitas mereka.
Kebijakan Pemerintah: Membuat kebijakan yang mendukung keberagaman budaya, termasuk menggunakan istilah yang lebih netral seperti “Masyarakat Sumatera Utara” atau “Kelompok Etnis Sumatera Utara.”
Kesimpulan
Penggunaan istilah “Batak” yang awalnya bertujuan sebagai identitas kolektif kini menjadi sumber marginalisasi. Untuk mencegah ketegangan lebih lanjut, perlu diupayakan penghargaan terhadap identitas unik setiap suku di Sumatera Utara. Dengan demikian, keberagaman dapat menjadi kekuatan bersama dalam menjaga persatuan dan kesatuan bangsa.(**).